Baca! Baca! Baca! Lalu, jadilah Anda orang yang berperadaban!

Seri Kearifan Wong Cilik 7
ANTARA MUSA R.A. DAN SAMIRI L.A.

Jumat, 04 Maret 2011

Oleh Nurul H. Maarif*

Perjumpaan dengan wong cilik yang telah mendapat kearifan dan pencerahan dari-Nya, memang tak bisa direncanakan. Disangka-sangkapun tidak sama sekali. Pun bisa terjadi di mana saja, tanpa mengenal tempat. Dan kali ini terjadi di Masjid al-Taubah, di bilangan Asemka Pasar Pagi Jakarta. Tepatnya pada Kamis, 24 Februari 2011, sekira pukul 13.30.

Siang itu, aku menyusul isteri ke Asemka, yang telah ke sana terlebih dahulu, untuk berbelanja kebutuhan toko. Di sana, aku menunggu di masjid, di bawah jembatan layang dan menyatu dengan keramaian pasar. Emperan masjid pun lantas menjadi tempat penungguan yang menyenangkan. Bagiku, masjid adalah tempat paling nyaman di kolong langit ini – kendati di masjid itu juga HP, uang, dan celanaku raib. Tapi toh masjid tetap menjadi pilihan.

Di emperan masjid itu, sembari menanti kedatangan isteri yang tengah asyik berbelanja, aku duduk di samping seorang berkopyah hitam, bersandal jepit, dan berpakaian ala kadarnya. Di hadapannya tampak onggokan plastik hitam, berisi topi untuk diperdagangkan. Seperti lumrahnya orang yang belum saling kenal, kamipun diam tanpa bahasa. Aku juga menganggap ia laiknya ratusan orang yang berseliweran di sekitar masjid itu. Belum ada ketertarikan untuk mengajaknya ngobrol – ini mungkin kesombonganku yang harus dihilangkan. Akupun asyik dengan khayalanku. Entahlah ia.

Tak lama berselang, pria itu menjawil pahaku sembari menanya hajatku di sana, dengan ramahnya. Jawaban apa adanya pun meluncur dari mulutku. Perbincanganpun mulai mengalir, seiring mencairnya suasana kebekuan itu. Tema awalnya juga ngelantur ke segala arah. Ia, lelaki berputera satu asal Kuningan Jawa Barat itu, lantas menceritakan dirinya tinggal di Luar Batang. “Luar Batang?” tanyaku serius.

Bagiku, Luar Batang adalah “tempat suci” sekaligus peziarahan bagi al-sawad al-a’dham – yang dalam Hadis Nabi Muhammad, berarti kelompok yang memiliki tradisi mayoritas, termasuk di dalamnya kelompok peziarah. Dan Luar Batang, markasnya para habib itu, adalah tempat favorit untuk obyek wisata spiritual. Wisatawan spiritual dari berbagai penjuru bumi hilir mudik ke sana, termasuk para habib, wali Allah, kiai, dan selainnya. Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan Jawa Tengah, Ketua JATMAN NU, pun konon rutin berwisata ke sana setiap minggunya.

Akupun lantas bertanya beberapa nama habib di sana, juga makam Mbah Priok yang beberapa waktu lalu hendak dibongkar untuk kepentingan ekonomi (duniawi), yang posisinya tak jauh dari Luar Batang. Dari situlah, perbincangan mengalir, laksana dua orang yang telah lama mengikat tali persahabatan. Inilah pintu masuk keakraban kami; spiritualitas memang tidak mengenal batas dan meniadakan sekat-sekat kecanggungan. Kesamaan sebagai hamba Allah-lah pemersatunya.

Ia, yang juga pengikut Tarikat Naqsabandiah-Qadiriah Abah Sukanta Pandeglang Banten sejak dua tahun silam itu, telah melanglang buana berziarah ke orang-orang suci, baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup. Iapun bercerita panjang lebar perihal gurunya, Abah Sukanta, dengan keteguhan, keistiqamahan, dan terkadang khawariq al-adah-nya. Juga tentang Kiai Mufassir Ciomas, Abuya Syar’i – penghuni rumah mewah berwarna ungu – di Ciomas, Abah Fuad Pandeglang, dan sebagainya. Mimpinya bertemu Habib Luthfi juga diceritakan. “Saya ingin menjadi penumpang gerbong mereka,” katanya beralasan.

Tak hanya itu, kitab-kitab besar di dunia pesantrenpun disebutnya, termasuk Jimjim alias Jam’ al-Jawami’, dan bahkan kitab sufisme terkenal Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makky. Ia pun terus berlanglang buana mencerita pengalaman dan hasrat spiritualnya yang tinggi. Sungguh, cerita bijaksana, yang menghilangkan dahaga jiwa, menyuburkan ketandusan dan kegersangan bumi spiritual setiap manusia. Mungkin terlalu banyak untuk dituliskan di lembaran ini.

Namun, diantara hal penting yang diceritakannya, adalah soal pemberian hidayah Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yang tidak bisa diprediksi dan direncanakan oleh siapapun. Yang awalnya buruk, bisa menjadi saleh. Sebaliknya, yang awalnya saleh, bisa menjadi buruk baik di mata manusia maupun Allah. Ia lantas bercerita, sekaligus membandingkan pengalaman Musa Alaihissalam (AS) dan Samiri La’natullah ‘alaih (LA).

Menurut tuturannya, Musa kecil berada di bawah pengawasan dan pengajaran Fir’aun (Raja Mesir yang memproklamirkan dirinya sebagai ana rabbukum al-a’la, aku Tuhan kalian yang agung, dan simbol penentang ajaran Tuhan kala itu). Sebaliknya, Samiri berada di bawah pengawasan dan pengajaran Jibril ‘alaihissalam (“tangan kanan” Allah pembawa kebenaran sejati). Dalam perjalanan karirnya sebagai manusia, Musa lantas menjadi Rasulullah yang membawa syariat baru melalui Taurat dan mengajak manusia menyembah Allah, sedang Samiri menjadi nabi gadungan dan mengajak manusia menyembah al-‘ijla (patung sapi terbuat dari emas). Samiri, seperti diterangkan Tafsir Jalalain, konon berhasil mengajak 70 ribu orang menjadi pengikutnya – yang semuanya lantas membunuh diri sebagai ujud penebusan dosanya atas pengingkaran ajaran Musa.

Kisah ini menunjukkan, hidayah itu urusan Allah SWT semata. Siapapun tak bisa mencampurinya. Innaka la tahdi man ahbabta wa lakinna Allah yahdi man yasya’ (Sesungguhnya kamu [Muhammad], tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang kamu cintai, namun Allah memberikan hidayah kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, Qs. al-Qashshash). Kita tidak bisa berbuat apapun untuk memberikan hidayah – dalam pengertian taufiq, bukan irsyad, karena itu semata hak prerogative Allah. Itu sebabnya, kisah Musa dan Samiri menunjukkan kebenaran hak Allah itu, yang berlaku terus sepanjang masa. Itulah rahasia besar Allah, bagi kehidupan ini.

Cerita lelaki bernama Toto ini lantas mengingatkanku pada alur kisah sinetron Pesantren & Rock N’ Roll, yang ditayangkan salah satu televisi swasta. Dikisahkan, ada dua anak muda bernama Abdullah dan Ibrahim. Abdullah anak yang nakal, suka mencuri karena kebutuhan ekonominya, dan sebaliknya Ibrahim santri yang taat dan kelak menjadi menantu kiai. Pada ujung kisahnya, Abdullah yang pencuri itu menjadi Pengasuh Pesantren Darus-Salam dengan santri ribuan dan Ibrahim menjadi pejabat tinggi. Padahal, yang “kayak”nya akan menjadi kiai sejak kecil adalah Ibrahim dengan kesantriannya yang tulen, dan Abdullah sebaliknya, yang tampak badung ketika kecil malah menjadi kiai besar yang berwibawa. Itulah rahasia Allah, yang tak seorangpun kuasa menebaknya.

Inilah yang diisyaratkan Nabi Muhammad dalam Hadisnya; ada orang beramal saleh sepanjang hidupnya, sehingga seakann ia paling layak menghuni surga, namun suatu ketika, ia melakukan amalan ahli neraka dan iapun masuk neraka. Sebaliknya, ada orang beramal buruk sepanjang hidupnya, sehingga seakan ia paling layak masuk neraka, namun suatu ketika ia melakukan amalan ahli surga dan iapun masuk surga. Bayangan kita tentang keduanya, terbalik 180 derajat, karena takdir-Nya yang tak terprediksi.

Karenanya, tak seharusnya kita mencap seseorang “ini-itu” hanya dari perbuatannya yang tampak selintas, sementara kita tidak tahu apa yang kelak akan terjadi. “Secara hakikat begitu,” ujar Pak Toto. Inilah kearifan yang saya dapati dari wong cilik di bilangan Pasar Pagi itu; kearifan yang sulit ditemukan padanannya, hatta dalam diri orang-orang yang secara dhahir menampakkan keislaman ketat atau bahkan kelompok berjubah sekalipun. “Semoga pertemuan kita jadi hikmah dan berkah. Amin!,” tulisnya dalam pesan singkat kepadaku. Wa Allah a’lam.[]

Cikulur, 4 Maret 2011
Pukul 05.55 WIB

0 komentar:


Bulletin Qi Falah edisi 06/1/2009



  © Blogger template Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP