Ikhlas Laksana Air Bening
Selasa, 03 Februari 2009
BARU-BARU ini, tepatnya Selasa (27/01/2009) sore, Pondok Baca Qi Falah kedatangan tamu dari Jakarta, Muhammad Zen, M.Ag. Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI Jakarta ini hadir untuk memberikan tausiah keagamaan bagi para santri Ponpes Qothrotul Falah.
Bertempat di Aula Pondok Baca Qi Falah, mahasiswa S3 Jurusan Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ini menyampaikan materi kekuatan ikhlas. Menurutnya, ikhlas menjadi dasar penting bagi diterima (maqbul) atau ditolaknya (mardud) amalan atau perbuatan manusia. “Amalan tanpa keikhlasan tak mendapat pahala apapun,” ujar alumni Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Jakarta tahun 2002 ini. “Membantu kawan atau tetangga dengan keikhlasan akan mendapat pahala dari Allah Swt,” imbuhnya.
Sebaliknya, jika membaca al-Qur’an, shalat, zakat, haji, puasa, dan yang sejenisnya, dilakukan dengan niatan pamrih atau biar dipandang saleh oleh orang lain, maka semua itu hanya akan menjadi amalan dunia yang tidak ada nilainya di akhirat. “Ini karena yang diharapkan bukan ridha Allah Swt, melainkan sanjungan manusia,” ujarnya. Lantas, apa sih Tadz, ikhlas itu? Penulis buku Zakat dan Wirausaha (2005) ini menyatakan, ikhlas adalah air bening, yang belum tercampur oleh kopi, susu, teh dan sejenisnya. Menurut “tukang ceramah” ini, ikhlas juga laksana semut hitam yang berada di atas batu hitam tepat di tengah gulita malam. “Nggak kelihatan. Tanpa pamrih. Itulah ikhlas,” kata master Ekonomi Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Ikhlas, menurutnya, memiliki kekuatan hebat yang disebutnya the power of ikhlas. Mantan Direktur Syahid Computer Koperasi UIN Jakarta ini lantas meceritakan kisah orang kampung yang datang pada kiai membawa sekeranjang singkong. Sebab hanya punya singkong, maka itulah yang diberikannya tanpa pamrih apapun. Motivasinya semata ta’dhim (hormat) pada kiai. Si kiai, karena ingin memuliakan tamunya, lantas memberikan apa saja yang ada di rumahnya. Kebetulan, kala itu yang ada seekor kambing. Maka kambing itulah yang diberikan pada orang kampung beruntung itu.
Demi mendengar berita “tukar-menukar” singkong dengan kambing itu, tetangganya yang penuh pamrih lantas melakukan kalkulasi. “Ngasih singkong aja dapat kambing. Kalau ngasih kambing, pasti dapat kerbau atau sapi,” bayangnya. Itulah kalkulasi orang-orang yang melakukan sesuatu karena harapan-harapan materi duniawi.
Benar saja, dengan kalkulasi yang dianggapnya matang itu, si pamrih lantas mendatangi kiai membawa seekor kambing. Demi memuliakan tamunya, kiai pun lantas memberikan apa saja yang ada di rumahnya. Karena hanya ada singkong pemberian tamu sebelumnya, maka itulah yang diberikan. Harapan si pamrih pun tinggal kenangan. Meleset! Kalkulasinya dijungkirbalikkan oleh Kemahabesaran Allah Swt, karena tiadanya keikhlasan di hati. Akhirnya, si kiai mendapat kambing, tamu pertama mendapat kambing, dan si pamrih hanya mendapat singkong alias malah rugi.
“Itulah kekuatan ikhlas,” pungkas Sekjen Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.[nhm]
0 komentar:
Posting Komentar