Maulid Nabi Muhammad SAW, Bid’ah?
Senin, 13 April 2009
Oleh Agus F. Awaluddin*
SETIAP tahun, kaum muslimin di seluruh dunia, dengan rasa cinta yang dalam dan penuh kegembiraan, memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Kebesarannya mencerminkan keagungan Pencipta-nya. Kesuciannya memancar lebih kuat dari pada kesucian para malaikat, manusia dan makhluk spiritual lainnya. Kedatangannya di muka bumi dibarengi tanda-tanda luar biasa nan menakjubkan.
Namun, kita telah sampai pada suatu masa, ketika muncul banyak keberatan atas praktik peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Banyak tulisan yang dapat menyesatkan umat Islam, sehingga banyak orang yang berpandangan negatif mengenai perayaan maulid. Tokoh “salafi” (wahabi) misalnya, kerap melontarkan ajakan untuk tidak merayakan maulid, karena dianggap bid’ah (hal-hal baru dalam agama, red.) yang bertentangan dengan Islam.
Hal ini sungguh tidak bisa diterima. Karena itu, melalui tulisan sederhana ini, penulis mencoba menyuguhkan bukti yang mendukung keabsahan merayakan hari kelahirannya yang penuh keagungan.
Tudingan Maulid Itu Bid’ah.
Orang-orang yang menentang maulid Nabi Muhammad SAW dan menilainya sebagai bid’ah, itu karena mereka berpegang (secara leterlek) pada Hadis: “Siapa yang menciptakan hal-hal baru yang menyangkut urusan (agama) kita, yang tidak bersumber darinya, maka akan ditolak”. Sabdanya juga; ”Hati-hatilah dengan bid’ah, karena setiap bid’ah (kullu bid’ah) itu menyesatkan”. Mereka yang menentang maulid selalu mengutip Hadis-hadis ini dan berpandangan bahwa kata kullu (setiap) itu berlaku secara umum, sehingga mencakup segala jenis bid’ah tanpa kecuali. Karena itu, memperingati maulid pun termasuk tindakan sesat dan menyesatkan.
Hal ini tentu tidak bisa kita terima begitu saja. Karena, sejatinya banyak hal baik yang sebelumya tidak dilakukan Nabi Muhammad SAW, tapi dilakukan para Sahabat dan Tabiin. Diantaranya, usulan Sahabat Umar bin al-Khattab pada Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq untuk menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf. Khalifah menyetujui usulan Umar meski belum pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Apakah ini bid’ah?. Lalu,apa sebenarnya bid’ah itu?
Pendapat Ulama
Sabda Nabi Muhammad SAW, “kullu bid’ah”, adalah lafal khusus yang menunjukkan keumuman dan merujuk pada kebayakan perkara bid’ah. Para pakar bahasa mengatakan; “Bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada contohnya. Ada lima jenis bid’ah yang berbeda”.
Sulthan al-Ulama al-‘Izz bin ‘Abd al-Salam mengatakan pada akhir kitabnya, al-Qawa’id, ”bid’ah itu terbagi menjadi; yang harus (wajib), yang dilarang (haram), yang dianjurkan (sunnah), yang tidak dianjurkan (makruh), dan yang boleh (mubah).” Dan cara mendeteksinya adalah dengan mencocokkannya pada syariat Islam.
Syeikh al-Islam Ibn Hajr al-‘Asqalani, penyusun Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari mengatakan, ”Sesuatu yang tidak ada contohnya di zaman Rasulullah SAW disebut bid’ah, tetapi bid’ah ada yang baik dan ada yang buruk”.
Imam al-Bayhaqi, dalam karyanya, Manaqib al-Syafi’i mengatakan, ”Bid’ah itu ada dua jenis. Yang bertentangan dengan sunnah dan ijma kaum muslimin. Ini bid’ah yang menyesatkan. Dan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah), yang tidak berlawanan dengan salah satunya.”
Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, dalam kitabnya al-Hawi li al-Fatawi menuliskan satu bab khusus dengan judul ”Niat Baik dalam Memperingati Maulid”. Beliau mengatakan, bahwa memperingati maulid Nabi Muhammad SAW dengan mengumpulkan orang untuk membaca al-Qur’an, menceritakan kelahiran Nabi, kemudian memberi sedekah makanan, itu bid’ah yang baik. Pelakunya akan beroleh pahala, karena perbuatan itu mengagungkan Rasullulah SAW.
Imam al-Syihab al-Qasthalani dalam kitabnya, al-Mawahib al-Laduniyah mengatakan “Semoga Allah SWT merahmati orang-orang yang yang dapat mengubah malam-malam di bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi hari-hari gembira yang dapat mengurangi penderitaan orang-orang yang hatinya dipenuhi penyakit”.
Sebenarnya masih banyak ulama lain, yang wara’ dan dalam ilmu agamanya, yang menuliskan pandangan-pandangannya tentang maulid. Misalnya, Imam al-Sakhawi, Imam Wajih al-Din, Imam al-‘Iraqi dan sebagainya. Intinya, mereka sepakat memperbolehkan perayaan maulid. Karenanya, dari semua dalil itu, jelaslah bahwa peringatan maulid dapat diterima dan diperbolehkan. Dan, tak pantas rasanya menuduh ulama yang setuju terhadap maulid nabi, taat dan cinta pada Rasulullah SAW, sebagai ahli bid’ah dan pelaku kesesatan, bahkan kelak di neraka.
Akhirnya, penulis ingin mengutip sebuah Hadis yang diriwayatkan Imam Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi dalam Shahih Muslim. Rasulullah SAW bersabda; ”Siapa yang mentradisikan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dari perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun”.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai Rasulullah SAW dan mencintai para ulama sebagai penerus perjuangan beliau; dan berhak mendapat syafaatnya kelak di kehidupan sana. Amin!.
*Penulis adalah Koordinator Pondok Baca Qi Falah
0 komentar:
Posting Komentar