Baca! Baca! Baca! Lalu, jadilah Anda orang yang berperadaban!

Seri Kearifan Wong Cilik
KE MANAPUN “MEMBAWA” BISMILLAH

Minggu, 28 November 2010

Oleh Nurul H. Maarif
(Pengelola Pondok Baca Qi Falah)

Siang itu, Sabtu (27/11/2010) sekira pukul 11.40, kereta langsam dari Tanah Abang tiba di Stasiun Rangkasbitung Banten. Jam 12.00, kereta spesial wong cilik itu dijadualkan “terbang” kembali ke Tanah Abang, membawa ribuan bahkan jutaan angan dan aneka hayalan mereka.

Seperti biasanya, ratusan pelanggan kereta warna kuning ini telah berjubel menanti di sepanjang rel. Dari berbagai usia; anak-anak, muda-mudi, hingga yang tua renta. Perihal status sosial? Semua sama; orang kelas bawah, bukan pejabat. Ini yang menjadikan tali ikatan di antara mereka kian kukuh.

Saya pun, sebagai bagian tak terpisahkan dari mereka, tak mau kalah menanti setia kereta kebanggaan (yang tak membanggakan) itu, tentu sembari berdesak-desakan. Alasannya satu: untuk berkompetisi berebut kursi. Maklum saja, kursi yang disediakan acapkali tak sebanding dengan jumlah penumpang yang mengantri.

Rebutan kursi ini, mungkin mirip kebiasaan lima tahunan anggota dewan kita. Bedanya, “yang di sana” berebut lima tahunan, “yang di sini” jadi makanan harian. “Yang di sana” berebut dengan uang, “yang di sini” dengan kekerean. “Yang di sana” kalah jadi pecundang, “yang di sini” kalah tetap riang. Sebab nilai-nilai kekerabatan dan kekeluargaan yang mendasarinya. Pun, sikut-sikutan tak pernah muncul, kecuali sesekali saja, dalam bentuk yang sesungguhnya.

Dalam kompetisi rebutan kursi itu, alhamdulillah aku termasuk yang memenanginya (dengan komitmen, jika ada bayi, orang tua, atau orang lemah, kursi ini akan aku berikan pada mereka). Sebentar duduk di kursi, sembari menata posisi, menaruh tas di rak atas dan mengambil buku al-Nash, al-Shultah wa al-Haqiqah karya Nashr Hamid Abu Zaid, untuk dibaca selintas secara ngemil, tiba-tiba di sebelahku duduk seorang lelaki sekira berusia 50-an tahun. Buku sakral bagi kelompok tertentu inipun, akhirnya kubiarkan diam tiada disentuh. “Pelajaran dari wong cilik ini mungkin lebih berguna bagi kehidupan, dari pada buku akademis-ilmiah yang mengawang,” gumamku di hati.

Perbincangan lantas dimulai. Dari yang ringan, semi ringan, hingga yang berat menurut takaran wong cilik. Berbincangan dengan Pak Muslim (sesuai nama yang tertera di SIM-nya, yang out of date 2007), yang tanpa tema itupun merembet ke mana-mana. Pria sederhana, bersandal jepit warna hijau dan merokok khas merk wong cilik ini, bercerita petualangannya. Ada cerita perihal pengalamannya di Jawa Timur, Solo, dan banyak lagi.

Ia juga bercerita perbedaan pekerja lokal dan interlokal dalam pengerjaan proyek. Orang kita cenderung lamban dan hasilnya kurang bagus. Orang sebrang cepat dan bagus. Ia lantas mencontohkan pengerjaan Tol Cipularang, yang ditangani orang sebrang dan kelar setahun. Padahal tingkat kesulitan dan kerumitannya tinggi. Tapi, katanya, pengerjaan double track Parung-Rankasbitung cenderung lamban kendati tingkat kesulitan dan kerumitannya lebih ringan.

Lelaki kelahiran Cikulur Lebak ini, lalu mengisahkan pekerjaannya membawa Peti Kemas (yang terkadang) berisi barang “antah berantah” dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Bandung, via tol Cipularang. Pekerjaan ini dijalaninya dari 1983 hingga 2007, yang membuatnya, kini, tak sempurna melihat dunia, tepatnya sejak 2001. Kedua matanya mengalami kerabunan, akibat pekerjaannya di malam hari menuntut terus terjaga.

“Bukan karena sinaran lampu mobil di malam hari, melainkan jarang tidur dan ketika pagi hari, mata ini langsung tersorot sinar matahari. Mungkin ini yang membuat mata saya bermasalah,” ujar pria yang tinggal di Kapuk Jakarta dan berputera lima ini, mencoba menganalisis pemicu sakitnya. Sakit ini, telah menghabiskan dana Rp. 40-an juta, khusus untuk pengobatan medis. Belum lagi upaya-upaya lain yang non-medis.

Di tengah kekaburan pandangannya, sampai-sampai orang yang diajak ngobrolpun tidak dikenali persis raut mukanya, ia tetap sabar. Inilah kekayaannya. “Sudah ke banyak tempat, mungkin belum jodoh. Tapi saya akan terus berusaha sembuh, walau dengan dana seadanya,” ujar murid Kiai Malik Kegambiran Cileles ini singkat, menggambarkan ketabahannya.

Ia pun bercerita pengalamannya sebagai sopir kontainer Peti Kemas, yang tak jarang disalahpahami aparat penegak hukum. Diakuinya, dirinya tidak tahu apa saja isi barang yang dibawanya bertahun-tahun itu. Ia hanyalah supir, yang tugasnya mengantar barang ke tempat tujuan; terlepas apapun isinya dan itu bukan wilayahnya. Ketidaktahuan inilah yang acapkali menjadi “celaka” baginya. Ia kerap dianggap tahu saja apa yang dibawanya. Itu sebabnya, jika berurusan yang aparat penegak hukum, sopirlah yang menjadi bemper (untuk sesuatu yang tidak diketahuinya).

Memang, katanya, banyak barang tidak halal yang termuat di sana; ada barang selundupan, obat-obatan terlarang, dan sejenisnya. “Itu pun kita tidak tahu, karena yang tahu petugas pendataan. Ketika dibongkarpun, kita tidak tahu,” belanya. Makanya, ia lantas mengusulkan, harusnya pihak kepolisian bekerja sama dengan para sopir untuk mengungkap barang “haram” di Peti Kemas itu. Inipun jika kebenaran hendak sungguh-sungguh ditegakkan di negeri ini.

Atas kesalahpahaman ini, ia tetap “nyantai”; kendati tak jarang menjadi korban kepentingan orang lain. Ternyata, yang menjadi pegangan hidupnya adalah bismillah. “Ke manapun, saya selalu membawa bismillah. Ini tidak boleh lepas. Ini yang membuat saya tenang menjalani segalanya,” katanya.

Bismillah, memang kalimat sederhana yang mudah dilafalkan. Namun di sebaliknya, tersimpan gambar keteguhan dan keyakinan yang tinggi kepada Allah SWT. Semua yang manusia jalani, tak lain karena kehendak dan izin-Nya. Inilah bismillah, pegangan hidup sebenarnya. Itu sebabnya, tak heran jika Nabi Muhammad SAW menyabdakan; perbuatan baik yang tidak dimulai bismillah (motivasi semata karena-Nya), tidak memiliki nilai apapun. Kering kerontang!

Pria berbaju putih ini juga berprinsip, jika berdoa, maka mintalah hal-hal positif yang bernilai langgeng. Misalnya, pertama, mintalah tetap iman dan Islam. Inilah cahaya abadi, yang akan menerangi dan mengantarkan manusia menuju-Nya tanpa kesesatan. Kedua, mintalah keberkahan usaha. Kaya miskin itu relatif. Tapi keberkahan, itu mutlak dan harus menjadi tujuan. Kaya tanpa keberkahan, menjadi kering tak bernilai. Sukur-sukur kaya dan berkah, sekaligus bermanfaat untuk orang banyak.

Ketiga, mintalah keselamatan dunia-akhirat untuk kita dan keturunan kita. Jangan hanya karena Iman dan Islam, kita merasa sudah selamat dan terjamin surga. Jangan karena merasa kaya, kita yakin sudah memiliki sertifikat kebahagiaan. Keselamatan itu milik Allah SWT, yang harus terus diminta.

Benar belaka yang dikatakan Pak Muslim. Itulah kearifan hidup. Sayangnya, kereta kami yang telah berjalan terseok-seok sekitar 2,5 jam dan diguyur hujan besar ini, telah sampai di Stasiun Pondok Ranji. Perpisahan dengannya tak terelakkan. Akupun harus turun meninggalkannya, untuk melanjutkan perjalanan menuju kediaman saudara sepupuku di Pisangan Barat Ciputat, yang esok hari hendak menempuh jalan panjang menuntut ilmu di Madinah. Sungguh kebahagiaan; bisa menjumpai wong cilik penuh hikmah di kereta dan lantas akan menemui calon orang besar yang hendak menimba kaweruh di kotanya Kanjeng Nabi Muhammad.[]

Mushalla Stasiun Pondok Ranji, 27 November 2010

2 komentar:

Anonim mengatakan...

inti dari bismilah ada pada ba'nya
bii kaana, bii yakuunu, bii sayakuunu_betul tak??

Anonim mengatakan...

buat zia ul haramein, sukses yah...


Bulletin Qi Falah edisi 06/1/2009



  © Blogger template Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP