KLIPING PBQF di SUARA PEMBARUAN: Ajakan Pintar Pondok Baca Qi Falah
Kamis, 01 Oktober 2009
SP/Sotyati - Pondok Baca Qi Falah.
Slogan "Hapus Kebodohan", yang acap dipasang di ruas jalan tertentu, sangat mengusik perasaan Nurul Huda Maarif (29). Mestinya, tak ada lagi slogan seperti itu. Selama slogan itu masih ada di negeri ini, berarti kebodohan masih ada. "Dan, kebodohan itu pusatnya di kampung-kampung," kata Nurul, panggilan akrabnya, belum lama ini.
Maka, ketika harus bolak-balik Jakarta - Desa Sumurbandung, Cikulur, Lebak, Banten, ide mendirikan taman bacaan di kampung-kampung segera saja melintasi pikirannya. Ide itu didukung sepenuhnya oleh istrinya, Dede Sa'adah Syatibi.
Pasangan itu, untuk beberapa lama, memang sempat hidup terpisah. Nurul, yang sudah merampungkan pendidikan S-2 Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saat itu bekerja di The Wahid Institute, di Jakarta. Dede Sa'adah, sarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, membantu sang ayah, KH Achmad Syatibi Hanbali, mengurus Pondok Pesantren Qothrotul Falah di Sumurbandung.
Ide itu, diakui Nurul, tersulut juga dari keprihatinan melihat kondisi perpustakaan Pondok Pesantren Qothrotul Falah. Hidup segan, mati pun tak mau, meminjam istilahnya.
Ada buku, namun hampir seluruhnya buku resmi sekolah terbitan lama yang sebagian sudah digerogoti rayap. "Ketika anak saya yang waktu itu berumur 2,6 tahun ikut bongkar buku-buku, tiga hari kulitnya bentol-bentol. Gatal-gatal," Nurul menceritakan putrinya, Nilna Dina Hanifa, sekarang 3,3 tahun.
Perhatian, apa pun bentuknya, atas taman baca yang benar-benar hidup di kampung-kampung, perlu ditingkatkan. Semua murni muncul dari keprihatinan karena keprihatinan adalah pangkal perubahan. Pesantren tanpa perpustakaan, menurut Nurul yang pernah nyantri di beberapa pondok pesantren itu, laksana tubuh tanpa roh. Pesantren adalah jasad pendidikan dan perpustakaan adalah rohnya.
Tekad pasangan Nurul - Dede sudah bulat untuk mengembangkan perpustakaan di Pondok Pesantren Qothrotul Falah. Saat itu dianggapnya saat yang tepat, karena 2 Mei 2009, Lebak memproklamasikan diri sebagai Kota Pendidikan. Pengurus pondok pesantren dan teman-teman mendukungnya. Ketersediaan ruangan dan sasaran pembaca yang jelas, memudahkan Nurul mengambil langkah.
Berbekal buku yang sudah ada, Pondok Baca Qi Falah didirikan pada 31 Desember 2008. Nurul bersama Ulum Zulvaton, alumnus Universitas Padjadjaran Bandung, teman baiknya ketika bekerja di The Wahid Institute, memilih nama itu, singkatan Qothrotul Falah. "Sekaligus terasa lebih familier dan agar mudah dikenang," tutur Nurul.
Penataan ruang menjadi perhatian berikut. Harus ramah lingkungan, sehingga pembaca betah berlama-lama. Perpustakaan itu dilengkapi kipas angin, musik komputer, dan pewangi ruangan. Paling penting, kebersihan terjaga.
Layaknya pasar swalayan, buku harus variatif dari sisi tema. Dibantu beberapa kawan, buku-buku pun didatangkan. Kini, buku-buku nonpelajaran ikut mewarnai pondok baca itu, termasuk ensiklopedi, novel, bahkan buku bertema agama. Dalam tujuh bulan, tercatat lebih dari 1.000 buku, di luar buku resmi sekolah yang masih tersisa dan menjadi warisan. "Masih lebih dari 50 buku yang belum didata," tambahnya.
Untuk memberikan kemudahan pengunjung, Ulum membuatkan program pencarian buku berbasis komputer, Athenaeum Light. "Sekarang tinggal klik saja, beres, langsung dapat buku yang dicari," Nurul menjelaskan.
Nonton Film
Agenda-agenda kegiatan untuk menunjang keberlangsungan pondok baca pun disusun semenarik mungkin. Pengelola menggelar acara nonton film berkala dengan media in focus (layar besar). Film yang diputar, di antaranya Laskar Pelangi, Syahadat Cinta, Mengaku Rasul, Perempuan Berkalung Sorban, dan Lari dari Blora. Pada peristiwa tertentu diselenggarakan cerdas cermat tematik, diskusi buku, diskusi tematik, dan pengajian kitab kuning. Kegiatan lainnya, menerbitkan Bulletin Qi Falah dan membuat majalah dinding.
"Peristiwa tak terbayangkan terjadi ketika Pondok Baca Qi Falah mendapat tamu, rekan-rekan dari pemeluk agama lain. Kami dikunjungi rekan-rekan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Gunung Sahari dan GKI Pakisraya, Jakarta. Tak pernah masuk dalam daftar agenda resmi kami. Bahkan, kunjungan mereka ini menjadi 'sejarah' di pesantren kami. Belum pernah ada sebelumnya," tuturnya.
Karena baru pertama kali, musyawarah dilakukan berkali-kali untuk memutuskan apakah harus menerima atau menolaknya. Nurul Huda sampai-sampai berkonsul- tasi dengan seorang habib di Jakarta.
"Beliau menjawab, 'Kalau orang nonmuslim bertamu ke tempat kita dengan niat baik, sambutlah dengan baik. Kalau dengan niat buruk, usirlah dengan baik'," ia menirukan jawaban habib tadi.
"Itu prinsip Islam dan tradisi Rasulullah SAW, yang juga menerima siapa saja yang ingin bersilaturahmi, termasuk kaum Nasrani Najran. Kadang orang Yahudi juga suka ngobrol-ngobrol dengan Rasulullah dan istrinya, Aisyah. Toh tak ada apa-apa. Asalkan pegangan kita, lakum dinukum waliya din (agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku)," ia menambahkan.
Memang, tak terbayangkan hasilnya, mengingat perjalanan panjang yang sudah ditempuh. Sambil berkelakar, Nurul bercerita ketika harus memanggul kotak-kotak besar berisi buku, naik kereta api jurusan Jakarta - Rangkasbitung. "Letak pondok pesantren itu kurang lebih 15 kilometer dari Rangkasbitung, ke arah Malingping. Angkutan kota pun belum tentu sekali lewat," Nurul, yang kini menjadi Sekretaris Pondok Pesantren Qothrotul Falah, dan juga Wakil Kepala SMA Qothrotul Falah bidang kesiswaan itu, menggambarkan.
Namun, Nurul dan ipar-iparnya, Ulum, serta rekan- rekan yang sebagian besar alumni Pondok Pesantren Qothrotul Falah, tak main-main dengan keinginan mengembangkan pondok baca itu demi menghapus kebodohan. Kini, walaupun di kampung yang jauh dari kota dan tentu jauh dari dunia internet, mereka tetap berusaha punya situs web. Untuk saat ini, segala kegiatan pondok baca bisa diikuti melalui blogspot yang berdomain www.pondokbacaqifalah.blogspot.com.
Respons positif bermunculan. Selain melaporkan kegiatan-kegiatan pondok baca, dicantumkan juga pelaporan sumbangan sebagai bagian dari transparansi kepada donatur. Seluruh database buku pun ditampilkan.
Sejak sebulan lalu, pengelola juga membuat program "Donasi Pendidikan Santri". Nurul dan kawan-kawan mencoba mencarikan donatur bagi santri yang tidak mampu.
Upaya itu membuahkan hasil, Pondok Baca Qi Falah kini memiliki enam anak asuh, yang biaya nyantri-nya ditanggung donatur untuk beberapa bulan.
"Mudah-mudahan ke depan ada lagi dermawan yang mau berbagi," ujar Nurul. Walaupun kesibukannya menggunung, ia masih menyediakan waktu mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) La Tansa Mashiro dan STAI Wasilatul Falah di Rangkasbitung. [SP/Sotyati]
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2009/09/20/index.html
2 komentar:
http://markonzo.edu I bookmarked this guestbook., ashley furniture price [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536072]ashley furniture price[/url], tkwao, allegiant air verdict [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536075]allegiant air verdict[/url], imxwn, pressure washers info [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536078]pressure washers info[/url], edgoqp, dishnetwork blog [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536080]dishnetwork blog[/url], ltkqvqv, adt security preview [url=http://jguru.com/guru/viewbio.jsp?EID=1536076]adt security preview[/url], bncobxk,
Miss
Posting Komentar