RAIH BAHAGIA DUNIA-AKHIRAT MELALUI SHALAT*
Oleh KH. Achmad Syatibi Hanbali **
Kamis, 30 April 2009
SEBAGAI manusia, tentu saja kita ingin hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Namun kita harus menyadari, bahwa untuk mendapatkannya, perjuangan dan proses panjang harus kita lalui. Diantaranya, kita harus mengenali diri kita sesungguhnya. Siapa kita? Dari mana kita? Akan ke mana kita?
Siapa kita? Jawaban untuk pertanyaan ini, diantaranya kita dapati pada Qs. al-Dzariyat [51] ayat 56: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Melalui ayat ini, kita tahu bahwa tugas kita sebagai manusia adalah beribadah kepada Allah SWT. Dan memang, tujuan ibadah tak lain untuk mengenal-Nya. Inilah salah satu penafsiran yang diutarakan Ibn Juraij, seperti dinukil Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, bahwa li ya’budun berarti li ya’rifun, yaitu untuk mengenal Allah SWT.
Dalam Islam, ibadah sering kali dibedakan menjadi dua : mahdhah (vertikal) dan ghair mahdhah (horizontal). Namun, sejatinya tidak ada pemisahan atau pembedaan di antara keduanya. Keduanya harus ditunaikan secara bersamaan. Sebagai kegiatan vertikal, shalat misalnya, itu dilaksanakan guna mengingat Allah SWT. Dalam Qs. Thaha [20], Allah SWT berfirman : “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Sedang sebagai kegiatan horizontal, shalat berfungsi sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar. Dalam Qs. al-‘Ankabut [29] ayat 45, Allah SWT berfirman: “Dan dirikanlah shalat!Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar”.
Dengan demikian, fungsi ibadah shalat tidak hanya vertikal, yaitu untuk mengingat-Nya, namun juga horizontal, yaitu untuk mencegah perbuatan keji dan munkar. Dua fungsi ibadah seperti inilah yang seharusnya senantiasa dicita-citakan dan terus diupayakan secara sungguh-sunguh oleh kita semua sebagai hamba-Nya. Jika ini dapat kita raih, maka predikat sebagai muslim, mukmin, dan muhsin akan kita dapatkan. Kita pun insya Allah menjadi orang yang beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.
Seharusnya pula, shalat yang kita tunaikan setiap hari bisa mendewasakan kita dan membuat kita bijaksana dalam segala hal, termasuk dalam menghadapi perbedaan, baik perbedaan mazhab keagamaan maupun mazhab politik. Jangan sampai, hanya karena perbedaan pilihan partai atau calon anggota legislatif misalnya, kita lantas sikut-sikutan. Berantem seakan bukan saudara semuslim. Padahal, jika kita kembali pada makna kepasrahan dalam shalat, bahwa kita hanya milik-Nya dan akan kembali pada-Nya, maka tak sepantasnya kita menonjolkan perbedaan yang sifatnya kulit itu.
Pemilu 2009 yang baru beberapa hari lalu kita laksanakan untuk memilih anggota legislative, baik di tingkat daerah maupun pusat, tidak seharusnya memperlebar jurang perbedaan diantara kita, sehingga kita bermusuhan satu sama lain kendati sesungguhnya kita masih satu payung Islam. Yang menang semata karena kehendak-Nya dan yang kalah juga semata karena kehendak-Nya. Yang menang patut bersyukur dan yang kalah tak seharusnya kufur. Untuk itu, shalat kita yang menyembah Tuhan yang sama, seharusnya bisa menjadi kunci perekat diantara kita semua. Jalinlah persatuan dan kuburlah perbedaan. Insya Allah, kita akan meraih baldah thayyibah wa rabb ghafur. Amin!
Namun pertanyaannya kini: sudahkah shalat kita menjadikan kita sebagai hamba yang senantiasa mengingat-Nya dan menjauhkan kita dari perbuatan keji dan munkar? Sudahkah shalat kita menjadi alat perekat satu sama lain? Allah SWT dan diri kita sendirilah yang tahu jawabannya masing-masing. Jika belum, maka sejak detik ini, kita harus meningkatkan kualitas, kehusyu’an, dan kekhudhu’an shalat kita, sehingga shalat kita benar-benar bisa menuntun dan mengarahkan hidup kita ke jalan yang lurus. Dan jalan inilah yang mestinya kita lalui sebagai hamba-Nya, hamba yang diciptakan hanya untuk mengabdi kepada-Nya.
Setelah pertanyaan pertama dilalui, kita lantas bertanya: dari mana kita dan akan ke mana kita? Kita adalah makhluk lemah yang berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya. Qs. al-Baqarah [2], Allah SWT berfirman: “Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal (tadinya) kamu mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, lalu Dia menghidupkan kamu kembali, kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan”.
Ayat ini menunjukkan, bahwa kita awalnya tidak ada, lantas diadakan oleh Allah SWT. Itulah bukti bahwa kita makhluk lemah yang keberadaannya bergantung pada rahmat Allah SWT. Karena kita ini berasal dari-Nya, maka kita pun akan berpulang kembali kepada-Nya. Tak seorang pun dapat mengelak ketentuan ini. Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kita, bahwa hidup ini tidak kekal selamanya, melainkan sementara. Suatu ketika, cepat atau lambat, ketentuan itu pasti datang dan saat itulah kita akan kembali kepada-Nya. Inilah ketentuan bagi tiap-tiap yang hidup. Lantas, sudahkah kita menyiapkan bekal untuk kembali pulang menghadap-Nya? Wa Allah a’lam.[]
*) Disarikan dari khutbah Jum’at di Masjid Agung al-A’raf Rangkasbitung, Jum’at, 10 April 2009.
**) Pengasuh Pondok Pesantren Qothrotul Falah Cikulur dan Ketua MUI Lebak Banten.
0 komentar:
Posting Komentar