SLOGAN LEBAK KOTA PELAJAR
DAN URGENSI TAMAN BACA MASYARAKAT
Kamis, 05 November 2009
POLITICAL and Economic Risk Consultancy (PERC) berulang kali merilis daftar ranking pendidikan di Asia Tenggara dan Asia. Hasilnya, pendidikan Indonesia senantiasa bertengger menempati ranking bawah. Kenyataan ini menunjukkan kualitas/mutu pendidikan kita masih tertinggal, hatta jika dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara dan Asia sekalipun. Karenanya tidak heran, jika hingga kini slogan “hapus kebodohan” masih terus terdengar di negeri ini. Selama slogan ini masih terus ada, berarti kebodohanpun masih terus ada.
Itulah sebabnya, barangkali Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Lebak tergerak hati untuk turut mengikis slogan ”hapus kebodohan” itu, setidaknya di wilayahnya. Diantaranya dengan mendeklarasikan diri sebagai Kota Pelajar, sejak awal Mei 2009 silam. Tak berhenti di situ, wajib belajar 12 tahun[1] pun lantas dicanangkan dan dijadikan kebijakan penting. Pemdapun menyatakan diri siap turut membantu pembiayaan pendidikan – kendati tidak seluruhnya – golongan masyarakat yang tak mampu secara ekonomi, melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Harapannya, melalui ancangan agenda ini, kebodohan terus terkikis habis dan taraf pendidikan masyarakat Lebak kian menggeliat maju.
TBM sebagai Ruh Pendidikan
Tentu saja, banyak hal positif yang bakal diraih melalui deklarasi Kota Pelajar ini. Syaratnya, deklarasi ini tidak dimunculkan karena latah belaka dan bukan karena keterburu-buruan tanpa ada kesiapan yang matang. Atau juga, bukan karena semata ingin disebut kota yang kualitas pendidikannya maju, namun sejatinya masih saja perlu banyak pembenahan di sana-sini.
Dalam konteks Kab. Lebak, terutama sejak dipimpin Bupati Mulyadhi Jayaba dalam rentang dua periode ini, Kab. Lebak ibarat “nenek tua” yang disulap menjadi “gadis cantik nan menawan”. Ibarat “kota tua” yang disulap menjadi “metropolitan”. Pembangunan infrastruktur meningkat pesat, sarana-sarana publik terus dihadirkan dan (yang sangat penting) infrastruktur pendidikan dibangun besar-besaran. Ribuan gedung sekolah baru didirikan (tentu tanpa menafikan masih adanya gedung sekolah yang di bawah standar kelayakan). Ini bukti, kendati kesarjanaan Sang Bupati sempat disoal lawan-lawan politiknya, beliau begitu konsen memikirkan kemajuan pendidikan masyarakatnya. Ini tak diragukan lagi. Komitmen-komitmen inilah yang memuluskan munculnya slogan Kota Pelajar itu.
Kendati demikian, penulis melihat ada beberapa hal yang masih penting untuk terus dikembangkan, terutama oleh para pelaku pendidikan, sebagai penunjang keberhasilan/kesempurnaan slogan Kota Pelajar ini. Misalnya:
Pertama, penegasan kembali orientasi pendidikan.
Dalam literatur pendidikan nasional, orientasi pendidikan acapkali dibedakan menjadi tiga aspek. 1) Kognitif (meliputi pembinaan nalar seperti kecerdasan, kepandaian dan daya pikir. Obyeknya adalah otak. 2) Afektif (meliputi pembinaan hati, seperti pengembangan rasa, kalbu dan ruhani). Obyeknya adalah hati/jiwa. 3) Psikomotorik (meliputi pembinaan jasmani, seperti kesehatan badan dan keterampilan). Obyeknya adalah fisik.
Orientasi pendidikan yang mengacu tiga aspek pendidikan ini harus lebih ditegaskan lagi oleh para pengelola pendidikan di Kab. Lebak. Tentu dengan jalinan kerjasama (bentuknya bisa didiskusikan) antara berbagai pihak, baik Pemda, Diknas, maupun masyarakat. Sebab, jika pendidikan hanya menyasar pada hasil olah otak dan olah jasad/keterampilan belaka, namun perilaku dan tingkah polah anak didik dalam masyarakat tidak positif, maka pendidikan dipastikan gagal dalam mencapai tujuan utamanya. Harapannya, dengan penegasan orientasi ini, akan tercipta manusia dwidimensi dalam satu keseimbangan ilmu-iman dan dunia-akhirat. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal adab al-dunya dan adab al-din, yang dengannya peserta didik akan mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah SWT dan khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai konsep yang ditetapkan-Nya. Dengan demikian, Kab. Lebak tidak hanya menjadi kota pelajar dalam slogan an sich, melainkan juga dalam kualitas dan isi.
Kedua, perhatian serius pada Taman Baca Masyarakat (TBM).
Upaya menghapus kebodohan atau upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan bermutu tinggi, tak cukup hanya mengandalkan bangku-bangku dan ruang-ruang kelas formal. Apalagi tak terpungkiri, bangku-bangku dan ruang-ruang kelas masih menyisakan banyak kekurangan. Pelaku pendidikan, karenanya, terutama Pemda Lebak, juga harus memikirkan “masyarakat non-sekolah” yang jumlahnya cukup banyak. Juga “masyarakat sekolah” yang akses ke sekolahnya cukup jauh, seumpama dari pelosok-pelosok desa, sehingga proses belajarnya terbatas ruang dan waktu. Untuk itu, perlu dimunculkan sebanyak-banyaknya TBM di lingkungan Kab. Lebak, sehingga akses pendidikan mereka tak terbatas ruang dan waktu. Kapan saja mereka butuh referensi (baik yang pokok maupun alternatif), sarana prasarana sudah ada di lingkungannya. Dan ini sangat mungkin dilakukan, jika ada perhatian yang seiring dari semua pihak.
Idealnya, sebagai simbol kesempurnaan slogan Kota Pelajar ini, Pemda Lebak dibantu Diknas mencanangkan secara resmi perlunya pendirian TBM-TBM di desa-desa sebagai alat kesempurnaan kualitas pendidikan. Tidak hanya menunggu, melainkan turut menggerakkan eksistensi TBM-TBM itu secara lebih nyata lagi. Tanpanya, kondisi pendidikan ibarat “tubuh tanpa ruh”. Tidak utuh! Dan untuk menggiatkan kemunculan TBM-TBM ini termasuk operasional dan pengadaan koleksi pustakanya, semua komponen yang ada, Pemda, Diknas, aparat setempat dan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga donor, harus memiliki pandangan sama dan saling bahu-membahu. Penulis bahkan menghayalkan, jika saja minimal di setiap kecamatan ada TBM (ditambah TMB Pemda misalnya) yang relatif baik dan bisa diakses masyarakat secara luas, sehingga mereka bisa mendapatkan asupan pengetahuan yang dibutuhkan, maka masyarakat bisa belajar kapanpun mereka mau.
Yang juga penting, TBM-TBM di Lebak yang masih sangat langka ini, sesekali perlu dikompetisikan oleh Pemda secara resmi, umpamanya melalui Diknas. Penilaiannya bisa dari sisi penataan ruangan, model pendataan buku, koleksi pustaka, fasilitas penunjang, agenda kegiatan, respon masyarakat dan media, efeknya bagi masyarakat, termasuk cara marketingnya, dll. Yang dinyatakan menang, berilah modal pembinaan dan jadikanlah sebagai TBM teladan. Yang kalah harus dipacu untuk meningkatkan diri. Dengan cara ini, diharapkan akan ada persaingan pengelolaan TBM-TBM untuk menjadi yang paling berkualitas. Akhirnya, jamur-jamur TBM yang akan menyempurnakan slogan Kota Pelajar ini akan tumbuh di mana-mana. Dan tujuan mewujudkan Lebak sebagai kota pendidikan yang sesungguhnya, akan lebih mudah tercapai. Sebab inilah impian masyarakat Lebak yang sesungguhnya. Wa Allah a’lam.[]
Ditulis oleh Nurul Huda Maarif
Artikel Diajukan untuk Diikutkan dalam Lomba Menulis Bagi Guru
Diselenggarakan Dinas Pendidikan Kab. Lebak, Oktober 2009
0 komentar:
Posting Komentar