MOMEN KEBANGKITAN PERPUSTAKAAN PESANTREN
Oleh Nurul H. Maarif*
Minggu, 11 April 2010
AKHIR MARET 2010 lalu, tepat ketika Ujian Nasional (UN) SMA tengah diselenggarakan, Kepala Bidang Pekapontren Kantor Wilayah Kementerian Agama Prop. Banten, H. Iding Mujtahidin, M.Pd, berkunjung ke Pondok Pesantren Qothrotul Falah, di Cikulur Lebak Banten. Kunjungan yang terkesan mendadak – dan barangkali disengaja demikian guna mengukur kesiapan dan kesigapan pesantren bersangkutan – itu tiada lain diniatkan untuk memantau perkembangan perpustakaan pesantren di wilayah Banten. Inilah, diantara konsen dan tugasnya sebagai “abdi dalem pesantren” melalui bidang Pekapontren.
Di sela kunjungan santai itu, kami bertanya: “Pak – kami menyapanya – , di wilayah Banten, perpustakaan pesantren mana yang layak dijadikan percontohan?” Beliau tampak “kesulitan” menjawabnya. Kamipun menunggu beberapa saat, sembari bertanya-tanya dalam hati, gerangan perpustakaan mana yang hendak disebutnya. Ternyata, beliau tiada menyebutkan pesantren manapun. Barangkali saja, di tengah upayanya mencari jawab itu, yang ibarat mencari jarum di tetumpukan jerami, di lubuk hatinya terbersit keprihatinan mendalam perihal “nasib” perpustakaan pesantren yang – dalam istilah santri – la yamutu wa la yahya (hidup segan mati tak mau).
Keprihatinannya kian menampak, ketika beliau menggelar pertemuan dengan para pimpinan pesantren se-wilayah Banten, Kamis, 1 April 2010, di Serang Banten. Beliau demikian berharap, perpustakaan pesantren bisa menjadi tulang punggung dan sumber geliat keilmuan Islam. Apalagi kini, kemerosotan umat Islam, termasuk di dalamnya santri dan pesantren, terjadi di berbagai sisi. Beliu lantas mencontohkan perpustakaan di belahan negara Eropa. Di Belanda umpamanya, ada perguruan tinggi yang bergedung tiga lantai, namun perpustakaannya justru 7 lantai. Hingga tak jarang perpustakaan menjadi “penginapan” menyenangkan bagi para pemburu pengetahuan.
Makna apa yang tersirat? Di negara-negara maju, pengetahuan menjadi harga mati, karena inilah ruh peradaban. Itu sebabnya, perhatian dan konsen terhadap pengembangan perpustakaan jauh melampaui segalanya. Namun di pesantren? Benar belaka apa yang diprihatinkan beliau, yang seharusnya juga menjadi “keprihatinan kolektif” warga pesantren; bahwa di pesantren, tidak hanya di wilayah Banten, perpustakaan acapkali dipandang sebelah mata dan dijadikan “selir”. Bahkan fenomena ini, sejatinya tidak hanya terjadi di pesantren, namun juga di sekolah-sekolah formal. Inilah kultur “menjadikan perpustakaan sebagai selir”. Yang dikedepankan senantiasa tampilan fisiknya: bangunan, sarana olah raga, dan sarana prasarana lainnya.
Itu sebabnya, setiap ada kesempatan silaturahim ke pesantren, yang kami cari pertama kali adalah perpustakaan. Dan, lagi-lagi keprihatinan itulah yang muncul. Padahal bagi kami, perpustakaan itu lambang geliat intelektualisme pesantren. Apakah pesantren yang abai pada perpustakaan, lantas bisa disimpulkan abai pada pengembangan intelektualisme santri? Barangkali jawabnya tidak bisa digeneralisir dan perlu pendalaman. Padahal, dalam bahasa Nashr Hamid Abu Zaid – pemikir muslim yang hingga detik ini masih dinilai kontroversial – umat Islam ini berpijak dan bergerak melalui hadharah al-nash (peradaban teks). Semuanya teks; al-Qur’an, Hadis, kitab-kitab klasik, dll. Lihat juga al-Kindi, yang terus memproduksi teks di ruang perpustakaan Baitul Hikmah-nya di Baghdad. Banyak tokoh besar yang menjadi sangat hebat hanya karena hari-harinya dihabiskan di perpustakaan. Artinya, tanpa teks, dan itu adanya di ruang-ruang perpustakaan, peradaban Islam tiada bisa bergeliat. Benar belaka kata pepatah: al-khathth yabqa zamanan ba’da shahibih // wa katib al-khathth taht al-ardhi madfun (naskah/teks akan kekal sepanjang masa, sementara penulisnya hancur lebur di kalang tanah).
Karena itu, ketika lembaga resmi seperti Pekapontren tergerak hati dan sungguh-sungguh ingin mengembangkan perpustakaan pesantren, dengan cara-cara yang tak bisa dilakukan pesantren sendiri, ini ibarat hujan di musim kemarau dan berkah buat pesantren. Inilah barangkali momen kebangkitan perpustakaan pesantren. Namun, bagaimana dan sikap apa yang seharusnya ditampakkan pesantren guna menyambut berkah ini?
Respon Pesantren
Ada beberapa hal penting sebagai wujud respon pesantren atas “berkah” ini. Pertama, harus muncul kesadaran kolektif bahwa perpustakaan adalah ruh peradaban dan inilah warisan Islam. Kami sering mengistilahkan; pesantren tanpa perpustakaan, ibarat tubuh tanpa ruh. Abai terhadap perpustakaan berarti abai pada sumber peradaban. Jika ini yang terjadi, fantadhir (tunggulah) saat runtuhnya bangunan mercusuar peradaban Islam. Cukuplah kejahatan Hulaghu Khan, yang menenggelamkan seluruh buku-buku kekayaan Islam di Baghdad, sebagai pelajaran berharga yang tiada terlupa. Kesadaran kolektif inilah yang harus muncul dari semua stake holder pesantren.
Kedua, kepada santri, harus ditanamkan pentingnya bergumul tiada henti dengan teks. Inilah pelita harapan. Jangan salah, kejahatan intelektual tidak harus berujud menenggelamkan karya-karya pengetahuan ke dalam lautan atau membakarnya. “Ada kejahatan yang lebih keji ketimbang membakar buku, yaitu tidak mau membaca buku,” kata Joseph Brodsky, seorang pemenang nobel sastra. Tiada menghiraukan atau acuh pada buku, baginya, adalah kejahatan intelektual kelas tinggi.
Ketiga, pihak pesantren harus menampilkan bacaan perpustakaan yang bervariasi. Dari yang berat, hingga yang ringan. Dari yang serius, hingga yang santai. Dari sisi sasaran, carilah buku-buku yang menyentuh tiga aspek kecerdasan; intelektual, emosional, dan spiritual. Inilah tiga kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian, santri mendapatkan banyak pilihan bacaan, sesuai kebutuhan dan kegemarannya. Sebab, nalurinya, mereka suka pilah-pilih dan mudah bosan. Yang tak kalah penting, keaktifan atau bahkan – dalam istilah Gola Gong dalam Bara Menjadi Daya – “keabnormalan” pengelola pesantren mencari buku-buku bacaan harus dibuktikan; baik melalui pembelian maupun donasi.
Keempat, buatlah program perpustakaan yang hidup dan menarik minat santri. Sukur-sukur bisa membuat mereka at home dan betah “menginap” di sana. Ciptakanlah ketagihan dalam hatinya. Misalnya, pengelola bisa membuat acara nonton bersama melalui media layar besar, diskusi berkala, bedah buku, pelatihan jurnalistik, permainan/game, penerbitan buletin, pembuatan website untuk menampilkan seluruh kegiatan perpustakaan dan koleksi buku, dan sesekali undanglah pencerita. Kegiatan-kegiatan ini bisa dilakukan dengan memberdayakan pengelola perpustakaan, para ustadz/dzah atau santri senior, sekaligus sebagai media pembelajaran mereka. Sebisanya juga, manfaatkanlah sarana-sarana modern yang ada, dan tatalah ruangan senyaman dan seindah mungkin.
Kelima, jika diperlukan, namailah perpustakaan itu dengan nama yang mudah dikenang dan diingat. Tujuannya untuk menyatukan batin pengunjung dengan perpustakaan, sehingga perpustakaan terus-menerus terkenang dalam hatinya. Ini barangkali hal sepele, namun tak bisa disepelekan.
Terakhir, harus diakui, mengelelola perpustakaan bukanlah pekerjaan mudah. Tidak sembarang orang mampu mengemban amanat ini. Karenanya, menurut Gola Gong – pendiri Rumah Dunia – , untuk mengelola perpustakaan dibutuhkan orang-orang “abnormal”, yang sedia mengorbankan pikiran, waktu, tenaga dan bahkan harta. Jika ini terlaksana, momen kebangkitan perpustakaan pesantren ini bisa diraih dan upaya membuat pilot project perpustakaan yang hidup bisa segera terpenuhi. Wa Allah a’lam.[]
*Pengelola Pondok Baca Qi Falah
Pondok Pesantren QOTHROTUL FALAH Cikulur Lebak Banten
www.pondokbacaqifalah.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar