Seri Kearifan Wong Cilik
DELAPAN TAHUN HANYA DAPAT BISMILLAH
Jumat, 14 Januari 2011
Oleh Nurul H. Maarif*
Tampangnya (mohon maaf) lusuh. Ngerokoknya kuat. Tampilan dan pakaian, sekenanya. Malahan hari itu, Senin (8/11/2010) pria asal Tanjung Priok berusia 30-an tahun ini, tak mengenakan sehelai bajupun. Celana pendeknya tampak robek. Tampilan fisik yang apa adanya ini, tidak menggambarkan “suasana batin”nya.
Hari itu, seperti biasanya, aku berangkat menuju UIN Jakarta, dari Lebak Banten sekira pukul 09.00, untuk menunaikan tugas studi. Pukul 12.30 aku nyampai di kontrakan kawan, pejabat di STAI Wiralodra Inderamayu. Di sana, aku bertemu seorang tak berbaju dan bercelana robek itu.
“Kita bertemu karena al-Qur’an. Dan aku tahu seminggu sebelumnya, kamu akan ke sini,” katanya spontan, tanpa aku memahami maksudnya. Akupun berfikir keras (hanya) untuk mengetahui makna ucapan pria yang pernah menghafal al-Qur’an di pesantren Kiai Arwani Kudus, ini. Ragam tafsir muncul darinya. Mungkin saja, maksudnya, karena dia mencintai al-Qur’an dan akupun demikian. Kecintaan inilah yang mempertemukan kami.
Memang, ke manapun pergi, biasanya aku membawa al-Qur’an kecil terbitan Dar al-Rasyid Beirut. Di kanan kiri lembarannya, tertera tafsir singkat dan di bawahnya tercantum sabab al-nuzul tulisan Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H). Sesekali aku membacanya di stasiun kereta, usai menunaikan shalat. Tak ada motivasi apapun, selain ingin selalu dekat dengannya. Tapi, entahlah!
Obrolan ringan hingga serius lantas mengalir, bak banjir bandang karena illegal logging. Keakraban ini seperti dua shahabat lama. Padahal baru sekali aku bertemunya. Kuakui, aku bisa langsung akrab dengan orang yang baru kukenal. Sebaliknya, bisa nggak akrap dengan orang yang telah bertahun-tahun kukenal. Ini soal kecocokan batin.
Siang itu, materi yang diobrolkan lumayan padat, ibarat perkuliahan sekian SKS. Mahasiswa UIN Jakarta dan pernah nyantri di Tebuireng Jombang inipun bercerita pengalaman studi dan spiritualnya. Misalnya, perkuliahannya yang telah memasuki tahun kedelapan. Baginya, kuliah bukanlah tujuan. Dia hanya menjalani ketetapan Allah SWT atas dirinya. Berapapun masa kuliahnya, itu terserah pada-Nya. “Saya yakin, pada saatnya kuliah akan selesai,” katanya.
Baginya, tak ada pelajaran apapun yang didapat selama rentang waktu kualiahnya. “Delapan tahun kuliah, saya hanya dapat bismillah,” ujar cowok yang mengaku pernah meninggal dunia ini. Lagi-lagi, aku kesulitan memahami ungkapannya ini. Ragam tafsir bermunculan dalam benakku.
Bisa jadi, maksudnya (ini semata pemaknaan nisbi dari seorang “pemaham”), karena seluruh ilmu Allah SWT terkumpul dalam bismillah; dalam pengertian teks, ucapan dan maknanya. Ilmu yang ada, (seharusnya) diniatkan untuk bismillah, semata untuk mengabdi-Nya. Caranya, dengan terus menyebut asma-Nya dalam lisan, hati dan perbuatan, sepanjang hayat ini.
Dalam kitab tafsir acap dinyatakan, seluruh ilmu al-Qur’an yang tak akan habis ditulis dengan lautan tinta (Qs. al-Kahf: 109), itu terkumpul dalam al-Fatihah. Ilmu al-Fatihah terkumpul dalam bismillahirrahmanirrahim. Ilmu bismillahirrahmanirrahim terkumpul dalam bismillah. Ilmu bismillah terkumpul dalam huruf ba’. Ilmu ba’ terkumpul dalam “titik”. Apapun yang ada di dunia ini, hanyalah penjabaran dari “titik” huruf ba’ itu. Itulah “titik” ilahiah. Apakah ini maksudnya? Entahlah! Bagiku, apapun maknanya, ucapan itu mengguratkan nilai spiritualitas mendalam: kepasrahan dan pengabdian tulus pada-Nya.
Okelah, kita (pura-pura) lupakan pernyataannya itu, sembari terus menghayalkan apa maksudnya. Namun, keluar dari satu pernyataannya yang sulit terpahami, aku masuk ke pernyataan lainnya yang juga tak mudah dimengerti. Ibarat selamat dari mulut harimau, lalu masuk mulut buaya. “Alfiah karya Ibn Malik itu intinya satu, yaitu lafal qala,” ujarnya. Apa lagi maksudnya?
Kitab Alfiah yang sakral di kalangan santri, berisi ribuan bait syair gramatika Bahasa Arab itu, baginya tak lebih berisi qala (berkata, perkataan Ibn Malik). Yang ada dan diulas di dalamnya, hanya tentang qala, yang dalam istilah al-Ajrumiyah disebut al-kalam. al-Qur’an, Hadis, teks Arab lainnya, tak lebih perkataan saja, dengan kesakralan yang berbeda-beda. Ilmu nahwu, dengan segala bentuknya, semata menguliti seluk-beluk al-kalam ini.
Tapi entahlah, apa sesungguhnya yang dimaksud, dan akupun tak bertanya lebih. Yang jelas, setiap karya, baginya ada kunci pembukanya. Kunci al-Qur’an itu bismillah, kunci Alfiah itu qala, dan seterusnya. Inilah yang dalam bahasanya disebut pusaka dan setiap pembaca karya, idealnya mengkriya pusaka bagi dirinya, sehingga ia mampu menyibak makna yang tersirat.
Diapun, entahlah kebenarannya, lantas bercerita pertemuannya dengan Nabi Muhammad, Nabi Khidir, Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijaga, yang konon memberinya wayang kulit. Sesuai amanat, wayang ini diberikan pada seorang dekan di UIN Jakarta. Pemberian ini dimaknai, perkuliahannya akan segera kelar, yang ditandai penandatanganan ijazah oleh sang dekan. Benar saja, tahun ini dia menyelesaikan tugas formalnya di dunia ini.
Yang juga mengagetkan, dia bercerita pertemuan spiritualnya dengan Fir’aun, Raja Mesir pada zaman Nabi Musa dan Nabi Harun, di kerajaannya. Menurutnya, Fir’aun sesungguhnya memiliki sebuah kitab suci, yang dijaga para jin. Sulit menembus penjagaan, apalagi membuka kitab suci itu. Namun, atas bantuan Nabi Khidir, ia berhasil membukanya. “Di dalamnya ada keterangan tentang Muhammad, namun disembunyikan,” jelasnya.
Cerita dan pengalamannya, bisa benar dan bisa sebaliknya. Memang benar, informasi kedatangan Muhammad terdapat dalam kitab terdahulu; Zabur, Taurat, Injil, dan lembaran lainnya. Dan, semua itu kini banyak disembunyikan, barangkali saja termasuk oleh penguasa Sungai Nil itu. Jika apa yang disampaikan pria di hadapanku ini benar, maka sungguh benarlah Allah SWT dan benarlah Muhammad SAW.
Ada lagi yang diceritakannya, tentang syajarah al-khuld (buah keabadian), yang “menyebabkan” Adam dan Hawa diturunkan ke dunia fana ini. Menurutnya, entah informasi ini didapat dari mana, pohon ini adalah sebaik-sebaik penciptaan Allah SWT di surga. Adampun, dan seluruh makhluk yang ada di sana waktu itu, tahu hal ini. Sebab itu, Adampun sudah ingin mencicipinya, jauh sebelum “tergoda” rayuan gombal Iblis.
Pertanyaannya bagiku, kenapa pohon itu dinilai sebaik-baik ciptaan Allah di surga? “Inilah bahan penciptaan Nabi Khidir,” terangnya, yang membuatku kaget. Sepengetahuanku, selain Muhammad SAW yang dicipta dari cahaya (sebagai simbol rahmatan lil ‘alamin), manusia diciptakan dari tanah (min thin, sebagai simbol kehinaan) sebagaimana nenek moyangnya. Apa Khidir lain dan ciptaan khusus?
Khidir adalah simbol spiritual. Hidupnya menyatu dengan-Nya. Siapapun yang ditemuinya, dalam tradisi sufisme, lantas diyakini akan mengalami kenaikan spiritual menuju-Nya. Barangkali saja, inilah simbol pohon, yang terus naik dan naik menuju puncaknya. Darinyalah Khidir diciptakan. Wa Allah a’lam.
Itulah, sekilas cerita lelaki bernama Muhammad Yusuf al-Kaff. Sejatinya masih banyak hal lain yang tak kalah menarik, yang muncul pada pertemuan pertamaku itu. Akupun berharap menggali lagi informasi langitnya. Tapi, setelah itu aku belum berhasil menemuinya. “Pertemuan kita ada yang ngatur. Nggak tahu kapan ketemu lagi,” katanya waktu itu. Aku memahaminya.[]
Cikulur, 8 Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar