Nadi Intelektualisme Santri Mulai Berdenyut
Selasa, 20 Januari 2009
Oleh Nurul H. Maarif*
SELAMA INI, gairah intelektualisme ratusan santri Pondok Pesantren Qothrotul Falah tampak lesu. Ibarat tubuh, ia bak kekurangan cairan dan tensi darahnya rendah. Selain kegiatan belajar-mengajar rutin harian, nyaris tak ada denyut intelektualisme alternatif. Situasi ini diperparah oleh kondisi perpustakaan – sebagai ruh intelektualisme – yang sama sekali tak terawat bin acak-acakan.
Ragam bukupun jauh dari yang diharapkan santri. Yang ada hanya buku-buku pelajaran MTs dan SMU, yang cenderung serius dan tak jarang menjenuhkan (dan ini toh sudah didapatkan di ruang sekolah). Barangkali tak salah, jika kondisi ini disebut “monoton”. Padahal mereka kan juga membutuhkan bahan-bahan bacaan menyenangkan lain, semisal novel, komik, majalah, dan sejenisnya.
Situasi ini kian diperparah oleh kondisi buku yang tak tertata rapi. Sungguh acak-acakan. Debu tebal bersemayam di segala sudut ruangan. Kondisi ruangan sempit (karena disekat untuk ruang komputer) dan jauh dari kerapian. Kenyataan ini sungguh jauh dari konsep ideal perpustakaan yang nyaman dan ramah lingkungan.
Makanya tak heran, ketika turut membongkar-bongkar buku lama, Si kecil Nilna Dina Hanifa sampai alergi gatal-gatal. Tiga hari lebih ia terus menggaruk bentol-bentol di tubuhnya. Tidurpun terganggu. Bidan pun lantas menjadi rujukan. Apakah konsep perpustakaan ideal pesantren kita seperti ini? “Na’udzubillah min dzalik,” kata santri mah. Tapi inilah “riwayatmu doloe” kondisi riil Perpustakaan Qothrotul Falah yang tak terjamah tangan-tangan peduli.
Kondisi yang berujung pada “alergi” santri mengunjungi perpustakaan dan berakibat melambannya denyut nadi intelektualisme santri inilah yang ditangkap oleh beberapa ustadz yang peduli. Mereka, antara lain, pengasuh pesantren KH. Achmad Syatibi Hanbali, Ust. Agus F. Awaluddin, Ust. Ahmad Turmudzi, Ust. Ahmad Amrullah, Ust. Moh. Ridwan, Ust. Moh. Hidayat R. Hantoro, Ust. M. Subhan, Ust. Udong Khudori, Nurul H. Maarif, Ustz. Dede Saadah, Ustdz Dede Mardiah dan lainnya. Mereka prihatin jika kondisi demikian dibiarkan tanpa pembenahan. Ujungnya nadi intelektualisme santri akan mati.
Langkah-langkah kongrit lantas ditempuh. Sedikit demi sedikit. Mulai dari membuat nama baru Pondok Baca Qi Falah, supaya lebih populer dan mudah diingat para tetamu yang hadir. Menata ruangan serapi dan senyaman mungkin. Menata buku menggunakan program Athenaeum Light, yang lumrah digunakan perpustakaan profesional. Juga memasang beberapa fasilitas: banner besar, jam dinding, taman, bangku kongkow, kipas angin, dan musik. Kebersihan lantai terus diupayakan terjaga.
Aneka kegiatan pun dirancang untuk menyemarakkan suasana. Misalnya bedah buku, pembuatan Bulletin Qi Falah, website, diskusi, kajian kitab, lomba resensi, dan seterusnya. Semoga rencana-rencana ini bisa terlaksana. Tentu semua pihak harus bahu-membahu mendukungnya, bukan? Harapannya, supaya gairah intelektualisme santri yang sempat la yamutu wa la yahya alias layu dan tak pernah dibangkitkan, bisa mulai bergeliat kembali. Dan, mereka inilah yang terus-menerus berjuang sekuat tenaga dan pikiran membangkitkan kelesuan itu.
al-Hamdulillah, berkat kebersamaan dan tekad yang sama, sejak perpus reinkarnasi dengan wajah baru ini dibuka pada Sabtu, 17 Januari 2009, nadi intelektualisme santri mulai berdenyut. Gairah intelektualisme sedikit demi sedikit mulai terbaca. Semoga saja, denyut itu kian hari kian kencang dan cepat. Sehingga cita dasar mewujudkan pondok baca ini untuk membantu pengayaan keilmuan santri bisa terlaksana. Dan itu sangat mungkin terjadi. Lihat saja, puluhan santri setiap harinya berkunjung, kendati tidak semuanya membaca. Malah tak jarang mereka berebut novel dan komik kegemarannya. Kadang sampai tarik-menarik buku. Ustadz Amrullah pun tak ketinggalan berebut novel Hamidah dengan santri. Tak malu nih, Tadz?
Dan al-Hamdulillah pula, respon santri cukup baik dan menggembirakan. Barangkali karena kenyamanan suasana, mereka tampak antusias. Mudah-mudahan, gairah ini tidak lekas lapuk, sebagaimana “harapan” dan “sinisme” beberapa orang. Mudah-mudahan pula, gairah intelektualisme santri betul-betul bisa dibangkitkan dari sini dan akan terus bertahan selamanya, hingga ila al-lahdi (ke liang lahat). Gairah inilah yang sekarang tampak menggeliat. Lihat saja komentar mereka yang bisa kita baca di buku tamu perpustakaan:
Sutisna (Kelas XII): “Buku-buku yang ada di sini sangat menarik”.
Cita Dara Panali: “Nyaman, bersih dan menarik.”
Nurlinah (3 IPA): “Membuat saya lebih fresh.”
Rizka Handayani (3 IPS): “Tempatnya nyaman dan sejuk.”
Mardiyah dan Ida Farida (3 IPS): “Nyaman, bersih dan asyik.”
Nur Azizah (3 IPS): “Mengasyikkan dan sejuk.”
Nur Hayati: “Asyik, nyaman, indah dan bersih.”
A. Mutammimul Ula: “Fun and happy.”
Fitri Wulandari (3 IPS): “Nyaman dan menyenangkan.”
Retnosari (3 MTs): “Senang dan nyaman.”
A. Jumaedi (3 IPA): “Pusing, bukunya bagus-bagus.”
Desi Andriyani (2 IPS): “Ustadz, tambah lagi dong Majalah Hidayah-nya.”
Nina Julaeha (2 IPA): “Penasaran nih, coz lum selesai.”
Kalau mereka saja bilang begitu, lantas apa mau dikata? Semoga koleksi buku dan kenyamanan ruangan plus fasilitas, bisa terus dikembangkan. Dengan kebersamaan, tak ada yang mustahil kita lakukan. Amin!
*Salah satu yang peduli denyut nadi intelektualisme santri.
1 komentar:
http://lumerkoz.edu Best Site Good Work http://riderx.info/members/Buy-Dostinex.aspx narvaezfor reciting http://soundcloud.com/buy-nifedipine conceiving http://www.comicspace.com/avandia/ inoculations http://www.lovespeaks.org/profiles/blogs/buy-elavil disabledgo scarlatti http://www.comicspace.com/maxalt_buy/ crowderci phonesthe
Posting Komentar