Baca! Baca! Baca! Lalu, jadilah Anda orang yang berperadaban!

Seri Kearifan Wong Cilik
MAS PENEWU MENGRITIK PENGUASA

Selasa, 09 November 2010

Oleh Nurul H. Maarif*

Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Mbah Marijan wafat mewariskan apa?

Gunung Merapi, di Magelang Jawa Tengah, telah benar-benar meletus (26/10/2010). Mbah Marijanpun, “jimat” penunggu Merapi telah pergi selamanya, mengiringi letusan itu. Puluhan pengikut setianya, juga turut serta pergi bersamanya dihantar panasnya Wedus Gembel. Selamat jalan Mbah! Surga menunggumu, Mas Penewu!

Lantas, apa yang diwariskan sosok kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu? Tentu saja, bukan harta yang ditinggalkannya. Bukan pula tahta yang disisakannya. Pun bukan teori-teori kegunungapian yang canggih-akademis. Sebagai orang lereng gunung yang apa adanya, semua itu tak dipunyainya.

Di atas semua itu, ada hikmah penting darinya yang terus-menerus didaur ulang dan direproduksi media massa; baik cetak maupun televisi, di seluruh penjuru negeri. Bahkan orang kecil di warung-warung kopipun terus membincangkannya. Apalagi Si Mbah menghembuskan nafas pemungkas (konon) dalam kondisi bersujud menghamba-Nya.

Apa kiranya hikmah itu? Tiada lain adalah “kearifan hidup”nya – terlepas dari kekurangannya sebagai manusia biasa. Inilah warisan paling berharga, bagi kehidupan ini. Kearifan ini, dalam taraf tertentu, bahkan layak dijadikan sebagai alat untuk mengritik penguasa atau pemimpin. Tentu saja penguasa yang tidak arif, yang jumlahnya tak bisa dihitung jari.

Diantara kearifan Pendiri TPA al-Amin Kinahrejo ini; pertama, teguh dan bertanggungjawab mengemban amanah. Bagi Si Mbah, amanah – dalam hal ini dawuh Sri Sultan untuk merawat Eyang Merapi – adalah harga mati. Keteguhan ini tiada bisa ditawar, termasuk oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gunernur Yogyakarta sekalipun.

Barangkali “Ki Ruso” ini berprinsip, lebih baik mati menjaga amanah ketimbang hidup dengan meninggalkannya. Ini prinsip luhur kenabian. Dan inilah model pemimpin – dalam kapasitasnya sebagai Thalut dari Merapi – yang berkarakter. Ini sebabnya, Si Mbah tidak pernah berjalan-jalan keluar posnya, apalagi ke manca negara. Ini beda dengan kebanyakan pemimpin kita; lebih sering jalan-jalan ketimbang menunggui amanah di posnya.

Kedua, nasionalisme kemerapian. Kecintaan Si Mbah pada Eyang Merapi-nya tiada tergoyahkan oleh apapun. Eyangnya sehat, batuk ringan, atau batuk berat, ia tetap menunggui dan merawatnya dengan setia. Kendati kesetiaan ini bertaruhkan penggadaian nyawanya. Dan pilihannya ini juga tidak populer.

Sikap nasionalisme kemerapian ini, seharusnya dimiliki pemimpin bangsa ini. Tumpah darah, bangsa, dan bahasa yang satu ini, yang menjadi poros persatuan seluruh komponen bangsa, jauh lebih penting dibela dari segalanya. Menggadaikan semua ini pada kolonialisme dan untuk kepentingan pribadi, tiada lain adalah tindakan amoral dan kebiadaban.

Ketiga, kesederhanaan. Banyak orang mengenal Si Mbah, dan bersimpati padanya. Media massa memberitakannya besar-besaran. Malah ia menjadi bintang iklan minuman kebugaran, bersama artis dan atlet nasional. Namun Si Mbah tetaplah Si Mbah, orang ndeso yang sederhana dan tanpa pamrih, yang sesekali menutupi raut mukanya kala disorot kamera. Niat keterkenalan jauh dari dirinya.

Kempat, kepedulian lingkungan. Si Mbah memiliki kearifan lingkungan yang tinggi. Baginya, jika lingkungan diurus dengan baik dan bijaksana, ia tidak akan membahayakan kita. Terorisme ekologi – keterancaman karena kerusakan lingkungan yang kita perbuat – tidak akan menjadi ancaman laten. Itu sebabnya, Si Mbah peduli betul pada konservasi hutan di sana.

Kelima, organik dan pekerja keras. Si Mbah, juga tipe orang yang lebih mengedepankan kerja lapangan, ketimbang berteori di balik kursi. Jiwa organik mendarah daging dalam dirinya. Model karakter seperti inilah yang sesungguhnya dibutuhkan bangsa ini, guna membangun masa depan yang cerah lagi sejahtera. Karakter tangguh dan tidak cengeng.

Lelaku Si Mbah itulah (beberapa) kearifan seorang yang hidup di lereng gunung. Kearifan itu sejatinya kritik terhadap penguasa. Tanpa harus berkata, berorasi atau berkhutbah, kritikannya melalui keteladanan ini lebih mengena dan menancap kuat di jantung hati setiap manusia.

Selamat jalan, Raden Ngabehi Surakso Hargo! Cukuplah kepergianmu, dengan mengendarai kearifan itu, membuat kami menitikkan air mata. Semoga kita, dan para pemimpin, bisa meneladanimu. Wa Allah a’lam.[]

*
Pengelola Pondok Baca Qi Falah Cikulur

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Subhaanalloh,,£uaaaarr biasa!!
سبحان الله ما خلقت هذا باطلا


Bulletin Qi Falah edisi 06/1/2009



  © Blogger template Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP