Baca! Baca! Baca! Lalu, jadilah Anda orang yang berperadaban!

Budaya Baca Indonesia Terendah di Asia Timur

Jumat, 19 Juni 2009

Budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD), kata Kepala Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya Arini.

Saat berbicara dalam seminar "Libraries and Democracy" digelar Perpustakaan Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya bersama Goethe-Institut Indonesien dan Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII) di Surabaya, Rabu, dia mengatakan, OECD juga mencatat 34,5 persen masyarakat Indonesia masih buta huruf.

"Karena itu, pengembangan minat baca merupakan solusi yang tepat, apalagi anak SD yang dibiasakan dengan budaya baca dan tulis memiliki prestasi tinggi dibanding anak SD yang selama enam tahun tidak dibiasakan dengan budaya baca dan tulis," katanya dalam seminar yang juga menampilkan pakar perpustakaan dari Jerman Prof Dr Phil Hermann Rosch itu.

Menurut dia, pembiasaan membaca dan menulis itu harus dilakukan dengan program pemaksaan pinjam buku di perpustakaan, lalu diberi tugas membuat kesimpulan dari buku yang dipinjam.

"SD swasta yang melaksanakan hal itu umumnya memiliki prestasi yang sangat memuaskan dibandingkan sekolah negeri yang belum memiliki kebiasaan itu," katanya.

Oleh karena itu, katanya, Perpustakaan Kota Surabaya mengembangkan program ke arah sana, di antaranya membuka perpustakaan selama tujuh hari dalam seminggu.

"Kami juga mengembangkan program pembinaan perpustakaan yang ada dengan pengadaan 157.095 buku setiap tahunnya, sekaligus melatih pustakawan yang ada," katanya.

Program lain yang sangat penting adalah pengembangan "Sudut Baca" di berbagai kawasan publik seperti puskesmas, balai kelurahan, perkantoran, perusahaan, dan pusat-pusat keramaian.

"Karena itu, kami merancang rancangan peraturan daerah untuk penyediaan fasilitas sudut baca di berbagai lokasi layanan publik di Surabaya," katanya.

Senada dengan itu, pakar perpustakaan dari Jerman Hermann Rosch menyatakan, perpustakaan itu menunjang pembelajaran sepanjang hidup, pengembangan pandangan yang tak muncul di permukaan, dan mendukung transparansi.

"Perpustakaan itu tidak hanya berfungsi pendidikan, tapi juga sosial, politik, dan informasi. Fungsi sosial terkait dengan pengembangan emansipasi, sedangkan fungsi politik terkait dengan kompetisi ide dan transparansi. Untuk fungsi informasi terkait dengan upaya mendorong keterbukaan dalam masyarakat," katanya.

Sumber: Kompas,Kamis 18 Juni 2009

0 komentar:


Bulletin Qi Falah edisi 06/1/2009



  © Blogger template Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP