AJAKAN DAMAI MUHAMMAD UNTUK MUSAILAMAH
Rabu, 16 Februari 2011
Oleh Nurul H. Maarif*
PERNYATAAN Imam al-Khattabi, beberapa abad silam, terbukti ketepatannya; perbedaan keyakinan, itu bahaya dan rentan konflik. Inilah yang terjadi di Cikeusik Pandeglang beberapa waktu lalu; tragedi berdarah yang menewaskan tiga pengikut Ahmadiyah, karena alasan keyakinan – terlepas ada tidaknya “something” non keyakinan di baliknya yang turut menjadi bumbu.
Entahlah, apa sesungguhnya yang tengah dan bahkan terus terjadi pada bangsa ini. Kekerasan menjadi tren untuk menyikapi perbedaan. Jalan dialog seakan tiada lagi makna. Padahal, al-Qur’an memberi tiga langkah kreatif untuk menyeru pada jalan Allah SWT; melalui kebijaksanaan (bi al-hikmah), nasihat positif (wa al-mau’idhah al-hasanah) dan dialog elegan (wa jadilhum bi allati hiya ahsan) (al-Nahl; 125).
Tidak ada anjuran, apalagi perintah penyelenggaraan kekerasan – lebih-lebih melalui jalan pembantaian keji – untuk menuju kebaikan. Dalam al-Qur’an disebutkan, kekerasan hanya tepat ditimpakan pada pelaku kekerasan pula, dengan catatan wa la ta’tadu (tidak melampaui batasan). (al-Baqarah; 190). Kondisi ini biasanya terjadi dan dibenarkan dalam situasi peperangan dan tidak di luarnya.
Itulah kerahmatan Islam. Dan itulah teladan Rasul. Lihat saja misalnya, bagaimana Muhammad SAW mereaksi Musailamah bin Habib al-Kadzdzab, pria keturunan Bani Hanifah di Yamamah, yang mendakwahkan dirinya sebagai nabi! Apakah beliau lantas membantainya secara beringas – seperti dilakukan sekelompok orang yang mengaku muslim di Cikeusik?
Ternyata kemuliaan dan keagungan beliau tidak menghendaki kekerasan ditimpakan pada Musailamah maupun pengikutnya. Kepada seorang pengikut setianya, beliau berkata: “Demi Allah, kalau tidak karena kerasulanku, sudah aku pukul dagumu.” (Tarikh al-Thabari, juz II, h. 199). Secara pribadi, sangat mungkin beliau marah dan geram. Namun sebagai rasul, yang mengemban misi damai bagi alam, kemarahan dan kegeraman yang berpotensi kekerasan itu diredamnya. Geram tanpa memukul dan marah tanpa membantai. Inilah ajarannya yang adiluhung – hatta kepada Fira’un yang nyata kekafirannya sekalipun, Musa dan Harun dititah bertutur kata dengan lemah lembut (Thaha: 43-44) –.
Kepada Musailamah sendiri, yang secara intelektual disokong mantan sahabat nabi Nahar al-Rajjal, Muhammad hanya berkirim surat. Isinya: “Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad Rasulullah untuk Musailamah al-Kadzdzab. Semoga keselamatan bagi orang yang mau menerima petunjuk Allah, amma ba’du. Bumi ini milik Allah yang diperuntukkan bagi hamba-Nya yang bertakwa.” Hanya itu, tanpa intimidasi, kekerasan, apalagi pembantaian secara keji. Inilah reaksi damai Nabi asli pada nabi palsu.
Inilah yang lantas diikuti para sahabatnya. Kendati geram dan marah, mereka tidak lantas main hakim sendiri atau membuat gerakan-gerakan di luar komando Muhammad. Ini berbeda dengan (sekelompok) umat Islam di negeri ini, yang gemar melangkah di luar jalur komando nabinya. Efeknya, tentu saja, menegatifkan citra Islam sebagai agama damai dan rahmat semesta. Kita sendiri, yang akhirnya dirugikan.
Lantas, untuk merespon Ahmadiyah, langkah apa yang sebaiknya dilakukan? Ada beberapa langkah yang penting dijalankan; pertama, dialog dan musyawarah secara tuntas, dengan melibatkan semua elemen, tanpa kebencian dan prasangka negatif. Muhammad, adalah katsir al-musyawarah (orang yang banyak berdialog) atas persoalan apapun, termasuk dengan mereka yang menentangnya (Tafsir Jalalain, juz I, h. 64). Dari sinilah akan muncul kesepahaman dan kemufakatan, dengan penuh kedamaian.
Kedua, andaipun kita tidak sepakat dengan Ahmadiyah, karena beberapa doktrinnya dinilai menyalahi mainstream, maka tunjukkanlah kekeliruannya dan sebarkan kepada masyarakat seluas-luasnya, tanpa unsur provokatif tentunya. Biarkan mereka menilai dan memilih mana yang harus diikuti. Inilah yang dinyatakan seorang sahabat Nabi, pamanda al-Ahnaf bin Qais, usai berdialog dengan Musailamah: “Dia tidak boleh diikuti penduduk. Dia lelaki pendusta yang munafik.” Ia hanya menghimbau umat untuk tidak menuruti keliruannya, tanpa mengiringinya dengan tindak kekerasan.
Ketiga, pandanglah mereka sebagai sesama keluarga Allah (‘iyal Allah) (Risalah al-Mu’awanah, h. 3), yang tidak boleh disakiti secara fisik dan psikologis. Dengan cara pandang ini, kita akan melihat mereka penuh kasih sayang. Jika kita menilai mereka salah, justeru tugas kitalah merangkul mereka dengan senyuman menuju kebenaran yang kita dakwahkan. Sebab, keramahan memunculkan simpati dan kekerasan melahirkan antipati. Inilah kekuatan sejati ajaran Islam.
Seumpana langkah-langkah ini tidak mempan, serahkan urusan dan akibatnya pada Allah SWT, lalu tinggalkanlah mereka secara teologis. Dan, tugas kita berdakwah telah selesai. Toh, Muhammad tidak lantas membantai Musailamah al-Kadzdzab karena keingkarannya, bukan? Wa Allah a’lam.[]
Lebak, 10 Februari 2011
Pengajar Ponpes Qothrotul Falah Cikulur Lebak)
0 komentar:
Posting Komentar