Baca! Baca! Baca! Lalu, jadilah Anda orang yang berperadaban!

Seri Kearifan Wong Cilik
BERIKAN PENGHAPUSNYA PADA ALLAH

Minggu, 12 Desember 2010

Oleh Nurul H. Maarif
(Pengelola Pondok Baca Qi Falah)

Pagi itu, Ahad, 28/11/2010, sekira pukul 06.30, aku tiba di Bogor. Entahlah, apa nama persis daerah itu. Dari Depok, perjalanan aku tempuh sekitar 1 jam, berkendara motor. Aku, di sana, ingin bersilaturahim dengan seorang, yang cukup dikenal di kalangan orang yang memerlukan bantuan penyembuhan penyakit. Akupun sekalian ingin berkonsultasi perihal beberapa keluhan.

Di rumahnya yang luas dan asri, dihiasi aneka tanaman bunga, tampak juga burung Poksai di halaman, pagi itu ramai pengunjung. Mobil berjajar, termasuk Mercedes. Keramaian itu, menurut informasi, bahkan terjadi sejak sebelum adzan subuh dikumandangkan. Tamu datang dari berbagai wilayah; Bekasi, Banten, Tangerang, bahkan luar Jawa Barat. Pagi itu, tampak juga seorang keturunan Arab, ditemani pria asal Bangkalan Madura.

Sekira jam 08.00, orang berkoko putih dan berkopiah haji yang ditunggu-tunggu itupun muncul, langsung menuju ruang khusus, tepatnya ruang praktik. Satu persatu tetamu memasuki ruang itu, sesuai nomor antrian yang didapatkan sebulan sebelumnya, untuk menanya keluhan-keluhan medisnya. Ada yang struk, matanya bermasalah, ambien, hernia, dan sebagainya. Semua dilayani dan digembirakannya.

Akupun, dengan nomor antrian 16, yang aku peroleh sebulan sebelumnya melalui seorang pelayan wanita, harus mengantri. Kesabaran dan ketabahan menunggu menjadi tema utama kala itu. Setelah satu persatu urusan tetamu terselesaikan, tibalah giliranku menghadapnya. Aku lihat jarum jam dinding, yang berbunyi setiap 15 menit sekali itu, menunjuk pukul 15.15 sore; dan aku baru bisa menemuinya. Aku geleng kepala. Tak kurang 8 jam aku harus sabar menunggu.

Itulah – orang memanggilnya – Abah Heriansyah, dengan kesibukannya melayani tetamu yang membutuhkan pertolongannya. Pria santun, yang dulunya menjadi “pengobat” salah satu Presiden Republik Indonesia itu, melayani semuanya tanpa mengenal lelah. Waktu untuk keluarganya kian sempit, kendati ruang praktiknya menyambung dengan kediamannya. Beliau, Abah, hanya beranjak pulang sebentar sekedar untuk makan siang dan shalat. Setelah itu, kembali lagi menapaki tugasnya melayani pasien.

Bagiku, perjumpaan dengannya yang tak lebih 20 menit, memberikan kesan mendalam perihal kesalehannya. Beliau sosok tawadhu, steril media, kendati namanya dikenal banyak kalangan. Termasuk populer di kalangan pejabat pemerintahan. Apalagi, konon beliau adalah guru beberapa ahli pengobatan terkenal yang acap muncul di media televisi. Namun, kerendahhatian lah yang menonjol dari dirinya.

Tutur sapanya halus. Perangainya lembut. Pertanyaannya detail perihal keluhan tamunya. Barangkali karena inilah, tetamu yang datang dan pernah berjumpa dengannya, menjadi kecanduan untuk datang lagi. Ini, pada akhirnya, bisa menjadi motivasi kuat atau sugesti bagi kesembuhan pasiennya. Tentu saja, di atas semuanya, kuasa Allah tak bisa dielakkan.

Kehidupan Abah, juga tampak sederhana dan bersahaja, kendati kesempatan menjadi kaya raya terbuka lebar. Beliau tidak pernah mematok tarif tamunya. Berbeda dengan yang di luar sana. Inilah (barangkali saja) prinsip ayah beberapa putera itu; “Ingin memenuhi kebutuhan hamba-hamba Allah SWT.” Motivasi sederhana, namun luhur dan mencermikan jiwa sosial yang kuat.

Prinsip ini, jika kita jeli melihat ornamen yang terpajang di ruangan itu, sejatinya tertera di sebuah kertas yang diketik dan dibingkai rapi. Ukurannya tak besar dan tertempel di sisi kiri pintu masuk ruang praktiknya, mengarah ke Kiblat. Bagiku, dari ornamen ayat Kursi, tulisan la ilaha illa Allah atau Muhammad Rasulullah, dan ornamen khas Islam lainnya, tulisan itulah yang berbeda, hingga aku mengabadikannya melalui ponsel. Coba renungi tulisan sederhana, yang menurutku penuh hikmah dan berkelimpahan cahaya ini.

“Tulislah rencana kita dengan sebuah pensil, tapi berikan penghapusnya kepada Allah. Izinkan Dia menghapus bagian-bagian yang salah dan menggantikan dengan rencana yang indah di dalam hidup kita. Karena Allah selalu tahu apa yang kita butuhkan, bukan yang kita minta. Dan Allah tidak henti-hentinya memenuhi kebutuhan seseorang, selama ia berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya.”

Mengesankan, bukan? Terlepas makna apa yang Abah inginkan dari refleksi batinnya ini, pun terbebas dari arkaik penafsiran para pembacanya, bagiku tulisan ini menunjukkan kedalaman batinnya. Batin yang berkelimpahan cahaya dan harum oleh cinta-Nya. Dalam benakku, sulit membayangkan untaian kata indah ini muncul dari orang awam, yang masih berkutat dengan dunia, jabatan, pamor, popularitas, performance, dan mungkin juga masih gemar mendemo kehendak Allah SWT.

Untaian kata itu halus, karena muncul dari ketulusan. Darinya terlihat mutiara hikmah: misalnya ikhtiar perencanaan hidup, namun dilandasi keyakinan bahwa kehendak Allah SWT di atas segalanya, pun kerelaan atas kehendak itu (tanpa harus terperosok dalam teologi jabariah). Inilah yang oleh Abi al-‘Izz al-Hanafi, dalam Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah, dibahasakan dengan:

وَماَ شِئْتَ كاَنَ إِنْ لَمْْ أَشَأْ # وَماَ شِئْتُ إِنْ لَمْ تَشَأْ لَمْ يَكُنْ

Apa yang Engkau kehendaki terjadi,
Kendatipun aku tidak menghendakinya.
Apa yang aku kehendaki tidak akan terjadi,
Jika Engkau tidak menghendakinya.

Itulah Allah SWT, dengan segala kemahaannya. Inilah yang tengah direfleksikan oleh Abah, melalui guratan tintanya. Baginya, dan seharusnya bagi kita semua, hidup dan kehidupan ini hanya milik-Nya, tanpa menafikan ikhitar dhahir tentunya. Dan apa yang dikehendaki-Nya, itulah yang terbaik menurut-Nya, kendati acapkali tidak menurut takaran kita dan tak jarang jauh dari cita-cita kita. Itu yang kita butuhkan, bukan yang kita minta. Karenanya, dengan bahasa yang halus, Abah menuliskan: Tulislah rencana kita dengan sebuah pensil, tapi berikan penghapusnya kepada Allah….. Inilah hakikat mahabbah; kerelaan hidup “diatur” oleh-Nya lantaran mengharap ridha-Nya.

Abah, dalam refleksi batinnya, juga mengguratkan kepedulian sosialnya yang tinggi. Beliau yakin, jika kita membantu memenuhi kebutuhan manusia lainnya dengan ketulusan, maka kebutuhan kita – apapun bentuknya – akan dipenuhi Allah SWT. Apapun yang kita berikan pada kehidupan ini, akan diganti oleh-Nya (Qs. Saba: 31). Ini dimensi sosial agama, yang kembali diingatkan Abah.

Ini barangkali, sedikit goresan tintaku perihal Abah, yang baru aku temui dua kali (bahkan yang kedua kalinya sekedar bersalaman, sekira pukul 21.30 malam di kediamannya). Beliau mencerminkan khalifah ma’nawiyah (wakil Allah sesungguhnya); yang memiliki keimanan kokoh dan berjiwa sosial unggul. Namun ketika aku ungkapkan kekagumanku atas refleksinya yang mendalam, beliau bertutur rendah: “Ah, itu nggak sengaja. Biasa saja kok.”[]

Cikulur, 2 Desember 2010, pukul 23.57 WIB.

0 komentar:


Bulletin Qi Falah edisi 06/1/2009



  © Blogger template Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP