Baca! Baca! Baca! Lalu, jadilah Anda orang yang berperadaban!

Meneguhkan Peran Penting Pesantren

Selasa, 07 Agustus 2012

Oleh Nurul H. Maarif* Beberapa hari ini, pesantren (utamanya pesantren modern dan semi-modern) tengah mengalami kesibukan serius, terkait kedatangan santri baru Tahun Ajaran 2012-2013. Wali santri, keluarga, handai taulan dan santrinya sendiri, hilir mudik ke pesantren: dari survey kualitas pesantren, fasilitas, mendaftar dan mengantarkan putera-puterinya berkhidmat ilmu di pesantren. Jika diperhatikan, volume kedatangan santri pada tahun ini lebih semarak dibanding tahun sebelumnya. Di Pesantren Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten, tempat kami berkhidmat, tampak peningkatan kuantitas santri lebih dari 150 persen. Ketika kami kroscek ke beberapa pesantren lainnya di wilayah Lebak, secara umum ternyata hal sama terjadi. Apa maknanya? Ada beberapa jawaban yang bisa diajukan untuk merespon pertanyaan ini. Pertama, pesantren sebagai agent of change, khususnya di bidang moralitas, tampaknya masih (dan bahkan terus) mendapat kepercayaan besar dari masyarakat. Lebih-lebih di tengah suasana ketika Kementerian Agama (Kemenag), lembaga pemerintah yang identik dengan nilai-nilai agama dan tempat bernaungnya tokoh-tokoh agama, tengah disorot serius oleh banyak kalangan terkait kasus-kasus korupsi yang terjadi di sana, termasuk yang hangat soal pengorupsian dana pencetakan al-Qur’an (yang jika benar adanya, bisa jadi dilakukan oleh beberapa alumni pesantren). Karenanya, kepercayaan masyarakat ini, tentu saja tidak cukup hanya disyukuri secara lisan oleh pihak pesantren, melainkan juga (terutama) harus disyukuri melalui kinerja dan kerja keras tanpa henti, pun terus berbenah dalam segala lininya. Ketika masyarakat mempercayakan putera-puterinya dididik di pesantren, maka pesantren memiliki tanggungjawab moral yang berlipat dan tidak ringan. Itu sebabnya, pesantren tidak boleh lengah dengan menyia-nyiakan kepercayaan ini. Kedua, keinginan untuk menjadi lebih baik. Dalam kesempatan wawancara dengan wali santri (baik wali santri yang alumni pesantren maupun yang tidak sama sekali) dan santrinya, secara umum ada beberapa alasan yang diajukan kenapa mereka “menjatuhkan pilihan hati” pada pesantren. Diantaranya, adanya keinginan supaya anaknya menjadi lebih baik dengan menimba ilmu di pesantren. Ini, kata mereka, karena kehidupan kawula muda di luaran pesantren dinilai kian hari kian permisif dan “berbahaya” saja. Uniknya, kenyataan ini diakui tidak hanya oleh wali santri, namun oleh santrinya sendiri dengan kesadarannya yang baik itu. Memang benar, banyak hasil penelitian dan survey menunjukkan, pergaulan kawula muda sudah kian bebas; merokok, menonton gambar-gambar dewasa, narkoba, minuman keras, hubungan lawan jenis, bahkan aborsi pun banyak terjadi. Beberapa waktu lalu, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS-PA) merilis hasil survey mengagetkan terkait perilaku remaja. Hasilnya, 62,7 % siswi SMP melakukan seks pra-nikah. 21,2 % dari mereka pernah melakukan aborsi ilegal. Tren seks bebas ini tersebar secara merata di seluruh kota dan desa, dan terjadi pada berbagai golongan. Data ini diperoleh oleh KOMNAS-PA berdasarkan survei terhadap 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar. Itu sebabnya, dengan masuk pesantren, insya Allah hal-hal ini bisa diminimalisir, mengingat posisi pesantren yang boarding school dengan ketentuan yang ketat; HP dilarang, merokok dikekang, narkoba ditentang, pergaulan lawan jenis sangat dibatasi dan menjadi enemy bersama. Bahkan tak jarang yang santri putera dan puterinya dipisahkan di tempat yang berjauhan. Bagi yang mentolerir pergaulan bebas, tentu saja pembatasan ini dinilai sebagai penjara dan pengebirian. Namun bagi yang berfikir positif, tentu pandangannya lain. Inilah cara pesantren meneruskan misi bi’tsah (pengutusan) Rasulullah SAW untuk membenahi moralitas yang kian rusak (li utammima makarim al-akhlak). Bagi pesantren, yang dari awal memang identik dengan ilmu-ilmu agama, ada keyakinan bahwa “siapapun yang dikehendaki baik oleh Allah SWT, maka dia akan diberi kesenangan mempelajari agama”, termasuk menyenangi pesantren dengan segala pembatasan dan kegiatan keagamaannya. Inilah yang dalam bahasa Rasulullah SAW disebut: man yuridilllah bihi khairan yufaqqihhu fi al-din. Tentu saja, tanpa menafikan potensi kebaikan-kebaikan di luaran sana yang juga sangat berlimpah. Persoalannya, jujur saja, jika dibandingkan dengan orang yang tidak memilih pesantren, yang memilih pesantren jauh lebih sedikit. Jika disurvey, barangkali hanya sekian persennya, karena alasan kekolotan, kekumuhan, pembatasan dll. Kondisi ini jugalah yang diceritakan Imam Besar Masjid Istiqlal, Kiai Haji Ali Mustafa Yaqub, dalam buku terbarunya Makan Tak Pernah Kenyang, hal. 6, dalam sub tema “Manusia Menyukai Neraka”. Sebaliknya, menurut beliau, justru aneh jika yang masuk ke pesantren lebih banyak ketimbang yang tidak. Namun sesungguhnya, fenomena ini tidak aneh sama sekali, mengingat Rasulullah SAW sudah mengisyaratkannya jauh-jauh hari: ya’ti ‘ala al-nasi zamanun al-shabiru ‘ala dinihi ka al-qabidh ‘ala al-jamr. Akan datang suatu masa, orang yang berpegang teguh pada agamanya, ia laksana memegang bara api. Dilepaskan itu (agama) penting, namun dipegang kuat-kuat rasanya panas. Demikian halnya santri, ketika melihat kehidupan bebas di luaran sana. Kondisinya serba “panas” dan “gerah”. Namun merekalah, orang-orang yang teguh sabar memegang ajaran agamanya, yang insya Allah mendapat dua kebahagiaan fi al-darain (dunia dan akhirat). Tiga Aktor Keberhasilan Di pesantren, banyak keuntungan yang didapat dibanding di luaran pesantren. Sesuai wawancara dengan wali santri dan santri misalnya, pada jam 04.00, mereka biasanya masih nyenyak di pembaringan. Di pesantren, mereka sudah dibangunkan untuk shalat tahajud, lantas mendaras ayat-ayat suci al-Qur’an, shalat sunah sebelum Subuh, jamaah Subuh, belajar kultum, mendaras al-Qur’an lagi, belajar Bahasa Arab/Inggris, atau ngaji kitab kuning sekira sampai pukul 06.00. Di rumah, apakah anak-anak kita melakukan hal-hal positif ini? Kita sudah paham jawabnya. Itu sebabnya, jika dibandingkan, dengan beraktivitas selama dua jam di pesantren, dari pukul 04.00 s.d. 06.00, santri telah mendapat 8 nilai/ajaran positif yang tidak didapatkan di rumah. Itu baru dua jam. Bagaimana jika sehari, seminggu, sebulan, setahun, tiga tahun, enam tahun, dst? Inilah keuntungan memesantrenkan putera-puteri kita. Kesadaran adanya keuntungan/laba besar inilah yang harus terus hidup dan tumbuh subur dalam diri kita. Dan untuk benar-benar mendapatkan keuntungan ini, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, maka ada tiga aktor penting yang harus saling berkolaborasi; orang tua, santri dan guru (dalam hal ini pesantren). Ibarat telenovela, masing-masing pihak harus memerankan tugasnya sesuai skenario yang telah dibuat oleh sutradara. Orang tua, umpamanya, bertugas untuk mensupport pendidikan putera-puterinya secara total, baik moril maupun meteriil. Dalam hal materiil, tentu karena pesantren tidak mampu menyediakannya. Santri juga harus memiliki motivasi, kesabaran dan ketekunan yang tinggi untuk belajar. Harus ada keyakinan “yunalu al-‘ilmu bi al-jiddi la bi al-jaddi/ilmu diraih dengan ketekunan, bukan keturunan”. Santri juga harus banyak merenung perihal jasa orang tua. Dengan keringat bercucuran, mereka rela melakukan apapun, hanya untuk melihat anaknya benar dan pintar (tidak sekedar pintar saja). Santri harus memiliki kesadaran penuh untuk tidak menyia-nyiakan keringat orang tuanya yang terus menetes-netes kelelahan untuk mencarikan modal pendidikannya. Jikapun dua aktor ini sudah berkolaborasi, maka dibutuhkan aktor ketiga, yaitu guru atau pesantren. Guru dan pesantren harus menyiapkan metodologi pengajaran yang integratif antara intelektual dan spiritual plus keseimbangan teori dan praktik. Tidak memisahkan keduanya. Metode pengajaran, interaksi dengan santri plus walinya, keteladanan guru, kelengkapan fasilitas, perhatian, dan seterusnya, harus terus ditingkatkan dan menjadi obsesi tiada henti. Dengan memperhatikan hal-hal ini, insya Allah cap pesantren sebagai agent of change benar-benar nyata. Inilah pesantren yang sesungguhnya, yang urgensinya harus diteguhkan oleh pihak pesantren sendiri. Wa Allah a’lam.[] *Pengajar di Pondok Pesantren Qothrotul Falah Cikulur Lebak Banten (www.qothrotulfalah.com).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

[url=http://dcxvssh.com]cxGleRoQUhcxi[/url] - UghHlFoQ , http://hhmgziigpu.com


Bulletin Qi Falah edisi 06/1/2009



  © Blogger template Newspaper by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP